Kemalangan berulang menimpa Rahwana, Sinta kukuh mencintai Rama. “Katresnanku datan luntur ing geguntur,” ucap Sinta mantap suatu waktu, yang berarti cintanya pada Rama tak akan luruh oleh guruh sekalipun. Begitu teguh Sinta memegang cintanya pada sang suami, Rama masih meragukan kesuciannya. Ketika Rahwana akhirnya mati di tangan Rama, ia bahkan meminta Sinta masuk ke dalam kobaran api, sebagi bukti kesucian cintanya.
Adegan Sinta meleburkan diri dengan bara api ini sekilas terlihat sebagai kepatuhan wanita yang sia-sia atas maskulinitas sang suami. Tapi, sebagaimana wanita dewasa yang punya pemikrian matang, bisa jadi, sebenarnya Sinta punya alasan kuat sendiri di balik tiap keputusannya. Sinta patuh bukan untuk membuktikan cintanya, sebab sejak semula memang ia tak pernah menodai kesucian hatinya, mendua dari Rama.
Kisah ini memang tak berakhir bahagia laiknya dongeng, tapi Ramayana memang bukan dongeng. Sastra klasik ini begitu penuh ‘dokumentasi’ perilaku manusia lengkap dengan keindahan dan kekacauannya, dengan masa damai dan peperangannya, dengan kebaikan dan keburukannya. Semua tokoh hadir dengan keutuhan karakter mereka, menjadikannya pembelajaran sepanjang masa bagi kita yang hidup di era-era yang lebih modern.
Di akhir pertunjukan, penari terkenal Retno Maruti sempat menari bersama Sulistyo Tirtokusumo, menutup pentas malam itu. Sebagai wujud apresiasi terhadap seni tari tradisi Indonesia, Kidung Dandaka menjadi persembahan untuk melestarikan seni tari Jawa klasik. Kidung Dandaka juga dipentaskan sebagai perayaan ulang tahun ke-40 Sanggar Padneçwara. Selain penari dari Padneçwara, beberapa penari lain dan pengrawit dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Yogyakarta, serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ) terlibat dalam pergelaran ini.
[Baca juga tentang cara mencegah pikun dengan musik]
Foto: Abisatya Sarasati