
Pria tinggi besar itu terdiam, mencoba meneruskan kata-kata, untuk kemudian tertunduk, terisak, lalu menangis terisak-isak.
“Saya sangat mencintai istri saya. Ia adalah segalanya buat saya. Kehilangan Rebecca menggiring hidup saya ke dalam kegelapan,” ujarnya perlahan.
Wajah bercambang lebat yang biasa terlihat garang di lapangan hijau itu kini tampak kuyu. Matanya tampak selalu sembap. “Saya tidak malu untuk menangis. Dan ini adalah cara terbaik bagi saya untuk melepaskan duka yang mendalam.”
Pria itu adalah Rio Ferdinand. Siapa sangka bintang sepakbola yang pernah membawa Manchester United meraih tiga piala sekaligus di Liga Premier, Piala FA, dan Liga Champions, ini bisa menangis tersedu di depan kamera televisi BBC yang tengah mewawancarainya.
Rio yang terkenal macho, keras, dan tangguh dalam setiap laga kini terlihat… rapuh. Tentu ada alasan di balik tangisannya. Rebecca Ellison, istri yang dinikahi selama tujuh tahun, meninggal karena kanker payudara.
Terpukul, Rio terjerembap menjadi penikmat minuman keras. Tersadar bahwa ia harus memikirkan masa depan ketiga anaknya, akhirnya Rio mencoba bangkit kembali dengan menjadi salah satu pelopor gerakan #beingmumanddad—sebuah gerakan yang mengajak para pria agar mau berbagi beban hidup dan menangis jika memang diperlukan.
Belajar untuk menerima keadaan dan membuat hidup menjadi lebih bermakna adalah pelajaran yang bisa saya petik darinya.
Ya, sama seperti Rio, saya pun pernah terpukul keras karena kehilangan pasangan hidup. Di ujung usia 30, nasib sial membuat saya harus kehilangan istri, hanya karena ‘keisengan’ saya main mata dengan wanita lain. Waktu itu saya belum menyadari betapa pentingnya arti istri saya bagi hidup saya.
Pria juga butuh curhat
Kedai kopi di sudut gedung perkantoran itu tidak besar, namun sesak dengan para penikmat kopi. Sebagian mata menatap gadget masing-masing, sebagian lagi berbincang dengan teman atau kolega.
Tapi tidak begitu dengan Hendra*, seorang pegawai bank. Dengan gelisah tangannya bolak-balik melepas kancing baju bagian atas, lalu mengaitkannya kembali. Lain lagi dengan Asya*, pengusaha grosir, yang justru lebih banyak diam seperti saya.
Tujuan kami bertiga bertemu adalah untuk saling berbagi cerita. Hendra baru saja ditinggal mati pasangan hidupnya. Sementara Asya kehilangan istrinya yang kepincut pria lain. Pertemuan ini digagas oleh seorang teman dekat yang seorang psikolog.
“Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Untuk itulah saya ingin kalian sering bertemu dan saling mencurahkan perasaan, baik kesedihan maupun kekecewaan, satu sama lain,” saran Arist Priambudi, sang psikolog.
Dan di sinilah saya sekarang, menyeruput kopi hitam di sebuah kedai kopi yang penuh manusia, sambil menatap mata dua pria yang kelihatannya akan segera menangis.
Benar saja, setelah beberapa lama saling bercerita soal pengalaman hidup dan penderitaan masing-masing, Hendra mulai tampak terbawa suasana. Bibirnya gemetar, emosinya mulai bangkit. Air mata pun mulai menetes. Serupa Hendra, sambil bercerita Asya pun mulai menitikkan air mata dan sesenggukan. Menangis dengan keras, lebih tepatnya.
Melihat itu, Hendra yang duduk di sampingnya langsung pamit ke kamar kecil. Saya pun merasa jengah, lalu melengos.
Tangisan Asya tentunya menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Di mata saya, tatapan mereka seperti sinis dan penuh curiga saat melihat seorang pria mengeluarkan air mata di hadapan dua pria lain. Jangan-jangan kami dianggap sekelompok kekasih dan mantan yang sedang curhat.
Kami berbicara lama, dari hati ke hati, dan tentu memesan kopi lebih banyak lagi. Dan sedikit demi sedikit—nyaris tanpa terasa—beban yang semula serasa satu ton, perlahan menjadi sedikit lebih ringan.…