Jakarta macet itu cerita lama. Jakarta makin macet karena penyempitan jalan untuk pembangunan MRT dan LRT, itu juga cerita lama. Jakarta jadi super macet di bulan puasa, itu jadi cerita klasik.
Saat berpuasa, menahan hawa nafsu alias mengelola emosi terbukti lebih menantang buat saya daripada menahan lapar dan dahaga. Salah satu yang bikin emosi meninggi adalah melihat kemacetan di jalan, apalagi menjelang waktu berbuka.
Jangan salah, menjelang waktu berbuka bukan berarti setengah jam sebelum azan Magrib, tapi hingga tiga jam sebelumnya.
Di suatu hari Rabu, menjelang berbuka, saya menempuh 2,5 jam (!) menuju lokasi bukber di area Kuningan, Jakarta Selatan! Padahal rute itu biasanya, semacet-macetnya, hanya 1,5 jam. Entah kenapa, sumpah serapah seperti tertelan kembali saking frustrasinya.
Keesokan harinya, setelah bukber di kawasan Senayan, saya tidak bisa langsung pulang meski sudah pukul 22.30 karena jalanan super padat, baik mulai di halaman mall maupun hingga di jalan raya. Seluruh lajur terisi, bahkan motor pun sulit menyelip. Daripada speechless, saya menunggu lalu lintas lebih longgar di resto cepat saji terdekat.
Jika Anda bukan penduduk Jakarta, terutama jika tinggal di kota yang memiliki lalu lintas rapi teratur dan jarang macet, siap-siap melapangkan sabar saat datang ke Jakarta di bulan puasa ini.
Kemacetan mengajarkan saya kesabaran tanpa batas, sekaligus ujian untuk sangat-amat menghargai waktu.
Jika biasanya suka datang mepet, lebih baik habiskan waktu di rumah karena macetnya Jakarta di bulan puasa, apalagi saat weekend, terus berlanjut hingga tengah malam. Midnight sale yang menyambut datangnya THR dipastikan menciptakan simpul-simpul keribetan di berbagai rute.
Tapi jika Anda senang tantangan, dan tahu bagaimana memanfaatkan waktu (tetap ikut bukber, sempat mampir di midnight sale, dan tidak terjebak macet), silakan saja. Menguji iman selama Ramadan bisa dimulai di sini.