Saya juga miris melihat banyaknya kasus kekerasan terkait kebebasan beragama di Indonesia. Pemahaman masyarakat terhadap masalah keagamaan masih sangat normatif. Guru agama saja masih ada yang mengajarkan bahwa orang yang tidak seagama itu kafir dan sesat. Dan yang diajar adalah anak-anak PAUD. Ini memang masalah. Menurut saya ini mesti diubah. Ada yang bilang itulah nasib menjadi minoritas. Oh, tidak bisa begitu, dong. Kita, kan, tidak mau ditindas. Semua mesti dimulai dari political will pemerintah. Untuk melakukan perubahan, perlu keberanian pemimpin. Pertanyaannya, apakah pemerintah berani mengambil risiko?
Saya sering dianggap liberal karena pemikiran-pemikiran saya. Kata “liberal” saja sering dianggap ‘kotor’. Padahal, liberal itu berarti kita tak ingin dibatasi, dikotakkan. Bukan berarti tanpa batas. Tentu saja, tidak ada kebebasan mutlak. Setiap kebebasan selalu dibatasi dengan tanggung jawab. Ada juga yang bilang kalau saya melakukan propaganda perkawinan sejenis. Saya tidak bicara perkawinan sejenis. Saya bicara soal penghargaan terhadap kelompok LGBT. Mereka adalah manusia. Dan mereka adalah warga negara. Jadi, bagaimanapun negara wajib melindungi.
Tidak boleh ada kekerasan terhadap sesama. Saya tidak suka kekerasan, karena kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Kita mesti memahami relasi manusia yang setara. Ini adalah soal bagaimana mengapresiasi sesama manusia.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah