Siti Musdah Mulia adalah seorang pengajar, intelektual Islam dan aktivis, yang kali ini akan bicara tentang demokrasi, pluralisme, dan perempuan.
Ada dua nilai pendidikan yang ditanamkan orang tua sejak kecil. Pertama adalah disiplin. Ibu saya sangat strict. Semua ada waktunya. Kapan kita bermain, kapan kita belajar. Kebetulan saya anak tertua, jadi saya harus bantu mengurus rumah dan adik-adik. Yang kedua adalah demokrasi. Di rumah, tak ada perbedaan antara laki dan perempuan. Semua mesti bisa melakukan pekerjaan rumah. Kami punya pembantu, tapi hanya boleh minta tolong. Kalau dia mau, ya, syukur. Kalau tidak, ya, harus dikerjakan sendiri. Pembantu hanya membantu, bukan untuk disuruh-suruh.
Kami diajarkan untuk setara dalam melihat orang. Tidak boleh ada pembedaan apa pun, untuk alasan apa pun. Waktu kecil saya dikirim ke pesantren. Pendidikan pesantren tentu tidak demokratis. Ada hirarki di sana. Di pesantren, perempuan mesti menerima. Saya sempat berontak ketika diajarkan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, tentang keistimewaan laki-laki dan kehinaan perempuan.
Kakek saya berpandangan tradisional. Misalnya, suara perempuan adalah aurat. Saya tak bisa ikut lomba membaca Al Qur’an, padahal dulu juara. Saya juga hanya diperbolehkan kuliah jika mengambil jurusan Bahasa Arab. Saya mengikuti saja, daripada tidak kuliah sama sekali. Di kemudian hari, saya menyadari bahwa semua yang saya lalui menjadi titik krusial bagi perkembangan dan perjuangan saya.
Banyak hal saya dapatkan berkat pengetahuan Bahasa Arab. Misalnya, saya jadi bisa menyerap ilmu ke-Islam-an dengan lebih matang. Pengetahuan itu juga menjadi modal untuk mengkaji teks-teks agama, juga mengkritisi secara lebih baik dan mendalam. Keberanian dalam mengemukakan pendapat merupakan buah dari perjalanan panjang. Sejak kecil saya memang hobi berorganisasi, mulai dari di pesantren, di kampus, hingga saat ini.