Seorang kawan yang sudah lama menetap di Chicago, AS, belum lama ini menulis di laman Facebook-nya tentang ketakjubannya akan kegemaran dan kepatuhan orang Indonesia terhadap dress code. Mulai dari pesta perkawinan yang ‘mewajibkan’ semua panitianya, dari petugas among tamu sampai pagar ayu/pagar bagus, yang jumlahnya bisa puluhan orang, mengenakan pakaian seragam, sampai acara-acara yang ‘nggak penting-penting amat’ untuk memberlakukan dress code. Sebut saja reuni keluarga, reuni teman-teman sekolah, piknik bareng para sahabat, bahkan sekadar ngumpul untuk makan siang bareng di sebuah mal.
“Waduh, berapa bujet yang harus mereka sediakan untuk memenuhi dress code setiap bulannya, ya?” tulis teman saya itu, sebut saja namanya Yasmin. Meskipun budaya dress code berasal dari Barat, menurut Yasmin, orang-orang Barat sendiri, setidaknya rekan-rekannya di Chicago, tidak terlalu patuh, apalagi ‘keranjingan’ dress code. Kalaupun sebuah acara mencantumkan dress code tertentu, paling-paling hanya secara garis besar , misalnya: formal, black tie, casual, atau costume (ini kalau pesta kostum). Selanjutnya, para undangan akan mengenakan pakaian yang sudah ada, yang kira-kira cocok dengan dress code itu.
“Mungkin karena saya dari kelas pekerja, sehingga kalau harus sering-sering beli baju baru hanya untuk memenuhi tuntutan dress code, kok, rasanya berat, ya. Mending uangnya dipakai untuk urusan yang lebih penting,” kata Yasmin, yang sehari-hari bekerja sebagai kasir di sebuah hypermarket (dia memang sudah punya green card). Suaminya bekerja di pabrik pemrosesan makanan. Dengan dua anak menjelang remaja, mereka harus hidup hemat agar bisa membayar asuransi ini-itu untuk jaminan kenyamanan hidup mereka di Amerika.
Jujur saja, saya sendiri belakangan ini makin sering terganggu dengan tradisi dress code di Indonesia. Beberapa kali saya dan suami diminta (baca: diwajibkan) untuk menjadi ‘pasukan’ among tamu dalam pernikahan para keponakan. Sebagai bagian dari panitia, kami tentu harus mengenakan seragam. Yang perempuan pakai kebaya dan laki-laki pakai jas beskap ala Jawa. Kain dan bahan kebaya serta beskap memang dibagikan gratis oleh keluarga pengantin, tapi kami diminta untuk menjahitkan sendiri ke tukang jahit, dengan biaya sendiri tentunya.
Nah, ini yang sering bikin repot. Saya terpaksa mengorbankan akhir minggu hanya untuk pergi ke tukang jahit. Dan karena biasanya bahan kebaya/beskap baru dibagikan ketika waktu sudah mepet, mau tak mau saya harus membayar dengan harga ‘sepud’ alias ekspres, atau sekitar 1,5 kali harga normal. Bukan hanya itu. Bahan kebaya yang dibagikan biasanya berkualitas standar, bahkan kadang murahan. Bisa diduga, setelah membayar mahal untuk biaya jahit, umumnya, kalau bukan semua, kebaya itu hanya terpakai sekali, di pesta perkawinan itu saja. Selanjutnya terkubur begitu saja di dalam lemari. Pemborosan yang sia-sia, kan?
Dress code rupanya juga menjadi isu penting dalam berbagai acara reuni. Ketika untuk pertama kalinya teman-teman SMP saya mengadakan reuni, dress code-nya sederhana saja, yaitu celana jeans biru dan atasan putih. Namun, lewat grup WA, ada yang mengusulkan agar peserta wanita, yang memakai jilbab, untuk mengenakan jilbab seragam. Yang ingin memesan, silakan hubungi si A dan silakan menyetor uang ke rekening si B.
Reuni pertama yang sukses lantas diikuti reuni-reuni selanjutnya, setiap tiga bulan . Anehya, walaupun sudah cukup sering bertemu, dan lebih sering lagi chit-chat lewat WA, tetap saja diperlukan dress code yang berbeda setiap kali akan reuni. Kali ini berupa T-shirt angkatan, yang berganti-ganti terus setiap tiga bulan . Harganya, sih murah, hanya 100 ribu per T-shirt. Kali pertama, saya masih mau membeli T-shirt itu, tapi selanjutnya saya tak mau lagi. Soalnya saya bukan orang yang senang pakai T-shirt, sehingga bisa diduga T-shirt tersebut lagi-lagi hanya terkubur di dalam lemari. Sungguh tidak eco-friendly, karena hanya menjadi sampah lingkungan.
Tapi bisa jadi justru saya yang aneh. Soalnya, banyak teman saya yang justru senang menjadikan tuntutan dress code sebagai kesempatan untuk belanja baju baru. Kalau harus menghadiri acara dengan, misalnya, dress code "touch of blue", mereka dengan senang hati akan ke mal untuk membeli baju atau blus warna biru, meskipun di rumah sudah ada beberapa baju biru (“Ah, itu kan baju lama, sudah sering dipakai,” begitu alasan mereka).
Anak-anak dan remaja juga tak kalah antusias menjawab tuntutan dress code. Malah terkadang lebih absurd ketimbang orang dewasa. Kolega saya di kantor pernah dibuat pontang-panting saat mencarikan gaun berwarna peach untuk putri remajanya yang baru lulus SD dan bermaksud membuat foto bersama para sahabatnya di sebuah studio foto. Padahal, sebelumnya ia sudah membelikan gaun kuning buat sang putri sesuai dress code yang disepakati. Tapi mendadak seorang dari mereka mengatakan bahwa warna peach ternyata lebih cantik di foto. Alhasil, mereka pun mendadak berganti dress code. Capek, deh....
Tapi, sesungguhnya, apa, sih, guna dress code dalam sebuah acara? Ada yang bilang, itu tanda kekompakan sebuah kelompok. Dengan kostum yang seragam, semua jadi sama rata, tidak ada yang terlihat menonjol sendiri. Di sisi lain, dress code juga bisa menjadi lambang eksklusif sebuah kelompok, yang secara tak langsung menutup pintu bagi orang dari kelompok lain. Mana yang benar? Tak tahulah. Yang saya tahu, dress code tak jarang menjadi ajang pemborosan yang tak perlu dan tidak ramah lingkungan.