Sepertinya perjalanan waktu tidak meninggalkan jejak apa pun pada penampilan Yuni Shara. Kulitnya tetap kencang, badannya yang mungil tetap langsing.
Logat ala Jawa Timur-nya juga masih kental, meskipun sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Setelah berbicara panjang lebar dengannya, barulah saya menyadari bahwa Yuni adalah seorang wanita matang dan sudah banyak mengalami asam-garam kehidupan. Ia juga wanita yang sering melakukan kontemplasi terhadap diri dan hidupnya.
“Saya ingin menjadikan tahun ini sebagai hajatan besar saya. Entah kenapa, justru di usia 45 saya baru ingin merayakannya dengan berbagai agenda. Mungkin karena di usia ini saya merasa telah mencapai kematangan hidup,” ujar penyanyi kelahiran Batu, Malang, 3 Juni 1972, yang bernama asli Wahyu Setyaning Budi.
Salah satu yang dilakukannya adalah menerbitkan buku tentang perjalanan hidupnya, yang ditulis oleh sahabatnya, Tamara Geraldine. Buku yang dirilis pada bulan September itu 60%-nya berupa foto. “Yang motret adalah teman-teman saya juga, seperti Tompi, Ridho Slank, Gading Marten, Rizal Armada, dan lain-lain. Mereka memotret saya menurut taste dan sudut pandang masing-masing,” jelas Yuni.
Beberapa hari setelah wawancara kami, salah satu foto Yuni yang dibidik oleh Gading Marten sempat menjadi topik seru di media sosial. Maklum, di foto itu Yuni tampil selonjor di sofa dengan tubuh tertutup selimut warna putih. Kalau melihat sebagian lengan dan dadanya yang tersingkap, muncul kesan seolah-olah di balik selimut itu Yuni tak mengenakan apa pun. Namun Yuni hanya tertawa menanggapinya. “Siapa bilang saya telanjang?” katanya, seperti dikutip sebuah berita online.
Yuni tampak bersemangat bercerita tentang bukunya itu. “Buku itu akan mengungkapkan siapa diri saya yang sebenarnya, yang tidak banyak diketahui orang banyak. Yuni Shara sehari-hari, yang jauh dari kesan glamor seperti yang terlihat di panggung.”
Misalnya, Yuni yang sudah biasa makan di warteg atau warung angkringan. Yang lebih senang di rumah saja, yang mengurus wardrobe-nya sendiri, yang mengecat rambutnya tiga minggu sekali untuk menutupi uban, yang hobi mengoleksi piring-piring unik yang dibelinya di Pasar Ular, hingga Yuni yang senang resik-resik rumah, memasak, dan mengurus kebun, yang hanya mengikuti satu kelompok arisan saja, dan sebagainya.
“Saya sesekali membuat foto selfie ketika baru bangun tidur, dengan freckles di wajah yang belum ditutupi makeup, lalu mem-posting-nya di Instagram. Inilah saya yang sebenarnya. Saya tidak pernah takut tampil apa adanya di depan orang banyak. Ternyata malah banyak yang senang dan memberi komentar positif,” ujar Yuni, yang justru senang follower-nya kebanyakan perempuan dan ibu-ibu. Karena, baginya, disayang oleh sesama wanita jauh lebih menyenangkan ketimbang dikagumi oleh kaum pria.
Di buku itu Yuni juga mengungkapkan resep pribadinya dalam menjaga keindahan dan kekencangan kulitnya “Setiap pagi saya makan daging lidah buaya yang dicampur madu. Lalu lendir yang masih melekat di kulitnya, saya oleskan ke kulit wajah dan leher,” ungkap Yuni, yang mengaku jarang ke salon dan tidak melakukan perawatan yang aneh-aneh. Untuk menjaga bentuk tubuh agar tetap langsing dan kencang, ia rutin berlatih yoga dan pilates. Baru-baru ini saja ia pindah ke olahraga dance yang dianggapnya lebih dinamis dan fun.
“Lewat buku ini saya ingin berbagi. Saya ingin buku ini bisa berguna bagi banyak orang. Selain diharapkan bisa menginspirasi, di dalamnya ada berbagai tip yang bisa diaplikasikan. Termasuk tip-tip teknik pemotretan dari para fotografer yang berkontribusi,” katanya.
Foto: dr. Tompi @Glymps
Pengarah gaya: Erin Metasari
Busana: Dior
Rias wajah dan rambut: Henz