Ia sekolah mode tapi tertarik film. Meiske Taurisia gelisah dan ingin terbang ke ranah film alternatif.
“Babi Buta yang Ingin Terbang” adalah judul film pertama yang diproduseri Meiske Taurisia, wanita yang sekolah mode tapi jatuh cinta pada film. Judul itu, secara kebetulan, pas dengan situasi dan kondisi mental seseorang yang hendak bergerak di ranah alternatif: Penuh dorongan dan kegelisahan, ingin terbang, tapi belum tahu ke mana dan bagaimana.
Mulanya Meiske tidak tahu bakal terjun sedemikian dalam di ranah film, apalagi di pasar niche. Awal keterlibatannya dalam film adalah sebagai costume designer dalam film Garasi (2006), sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya di sekolah. Di sanalah ia bertemu orang-orang seperti Mira Lesmana dan Edwin (kala itu menjabat Director of Photography atau DOP), yang belakangan berpengaruh pada jalur hidupnya.
Film “Babi Buta yang Ingin Terbang” (2008) menandakan babak baru dalam hidup Meiske. Kala itu, Edwin sudah memiliki skenario, tapi belum ada produser. Entah ada angin apa, tiba-tiba muncul usulan menjadikan Meiske sebagai produser, dan ia pun menyanggupi.
“Babi Buta yang Ingin Terbang” bukan film arus utama, tentu saja. Tetapi pasca tayang perdana pada 2008, kendati tidak beredar di bioskop, ia justru berlalu-lalang di sirkuit festival film dunia—bahkan mendapat FIPRESCI Prize di Rotterdam International Film Festival 2009. Semestinya, ‘bekal’ itu cukup bagi Meiske untuk terjun ke ranah mainstream industri perfilman. Tetapi ia memutuskan sebaliknya.
Ada beberapa faktor yang membuat Meiske tetap di jalur alternatif. Pertama, karena adanya dorongan seni di dalam dirinya. Dulu Meiske kuliah seni rupa dan menurutnya, “Kalau di seni, at some point, pasti ada titik-titik di mana Anda ingin menjadi seniman.”
Faktor kedua adalah kegemarannya terhadap film-film non Hollywood. “Saya suka menonton sejak kecil. Tapi pengetahuan tentang film non Hollywood datang pada era rental video dan era VCD bajakan. Itu membuat saya mesti ‘berterima kasih’ kepada pembajak film zaman itu. Mereka membuka wawasan kita semua,” kenang Meiske.
Bagi Meiske, beragam storytelling yang disuguhkan film-film alternatif sangat menyegarkan. Selain itu, mereka terasa lebih real dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tidak bombastis, tanpa drama berlebihan. Ketertarikan itu semakin menjadi-jadi sejak ia studi di Belanda. Dalam rentang dua tahun itu ia terpapar film-film Eropa. Ia jadi akrab dengan yang namanya art-house cinema, bioskop yang memutar film-film alternatif.
Tetapi apa pentingnya keberadaan karya-karya alternatif bagi publik? tanya saya suatu kali. Bagi Meiske, hal tersebut lebih seperti edukasi publik terhadap keberagaman. Dan keberagaman itu, dalam skala yang lebih luas, penting bagi keberlangsungan industri itu sendiri.
“Semua bidang kreatif perlu dua oposisi itu, yang missal dan yang niche. Kreativitas itu dinamis, dan itu sebabnya ia tak mungkin muncul dari sesuatu yang statis. Karena itu, keduanya saling menghidupi,” jelas Meiske.
Saya pun lantas bertanya tentang bagaimana niche market menghidupi dirinya sebagai kreator, dan Meiske tertawa sebelum menjawab, “Sebetulnya, kalau buat makan, sih, cukup. Tergantung pilihan makannya juga, kan? Jadi, bisalah.” Bagaimanapun, ia juga mengatakan bahwa satu hal yang mesti dipikirkan adalah jaminan hari tua.
“Tantangan terbesar bagi seseorang di ranah niche adalah untuk tetap memproduksi film,” katanya di akhir wawancara. Bagi Meiske, indikator keberhasilan di ranah massal berbeda dari yang di alternatif. Contohnya, produk massal bisa diukur keberhasilannya dari penjualan tiket. Tetapi indikator itu tidak bisa diterapkan pada film-film alternatif. Para pembuat film alternatif dinilai dengan cara berbeda, namun tak kalah berat. Misalnya, apakah filmnya sudah ‘menyumbangkan’ sesuatu bagi publik? Atau, apa kontribusi filmnya terhadap seni perfilman?
Pada akhirnya, waktu adalah ujian terbesar bagi seseorang yang bergerak di ranah tersebut. Membuat satu film alternative adalah satu hal, tetapi untuk terus berkarya merupakan hal yang sama sekali berbeda.
Delapan tahun sejak tayangnya “Babi Buta yang Ingin Terbang,” Meiske telah memproduksi beberapa film lain, di antaranya “Postcards from the Zoo” (2012), “Rocket Rain” (2013), juga “The Fox Exploits the Tiger’s Might” (2015). Dan seperti halnya “Babi Buta yang Ingin Terbang,” film-film tersebut juga berterbangan ke festival internasional.
Foto: Koleksi pribadi