Articulate dan blak-blakan. Itulah kesan saya tentang Setyawan Hanung Bramantyo, 42, sutradara muda papan atas di negeri ini. Kalau sudah ketemu tema yang asyik, ia bisa lupa waktu. Seperti ketika kami membicarakan “Kartini,” filmnya yang diputar di seluruh Indonesia sejak April lalu.
“Saya membuat Kartini terutama untuk laki-laki,” katanya saat saya temui di Dapur Film, production house miliknya.
Menurut Hanung, seperti juga dirinya dulu, umumnya laki-laki Indonesia hanya tahu bahwa setiap tanggal 21 April, mereka (ketika kecil) disuruh ikut pawai memakai pakaian daerah untuk memperingati Hari Kartini. Tapi, siapa Kartini dan apa yang sesungguhnya ia perjuangkan, hampir tak ada yang tahu.
“Saya juga ingin mendobrak stereotip bahwa ‘film laki-laki’ harus banyak adegan laga, dan film tentang pahlawan harus ada perangnya. Padahal, Kartini berjuang secara intelektual lewat buah pikirannya yang sangat progresif untuk wanita usia belasan tahun yang hidup di abad ke-19 di sebuah kota kecil di Jawa.
“Saya berharap para lelaki yang menonton film ini jadi tahu bagaimana mereka seharusnya memahami dan memperlakukan perempuan,” ujarnya menggebu.
Padahal, semasa masih duduk di SMA di Yogya dan aktif main teater, ia mengaku sangat benci pada film, yang dianggapnya sebagai seni kapitalis dan penuh kepalsuan. Seni yang diagungkannya adalah seni murni seperti seni lukis atau seni teater yang sepenuhnya mengandalkan keterampilan tubuh sendiri.
“Apalagi nonton film Indonesia, beuh…, saya benci banget,” kata sutradara yang menyabet dua Piala Citra lewat film “Brownies” (2005) dan “Get Married” (2008) ini.
Film “Ibunda” garapan sutradara kawakan Teguh Karya menyadarkannya bahwa bila semua aspek digarap dan dipromosikan dengan baik, film Indonesia bisa mengagumkan. “Ternyata kita tetap bisa mengawinkan aspek komersialisme dengan idealisme,” katanya.
Ia pun nekat pindah dari Yogya ke Jakarta untuk nyantrik di Teater Populer pimpinan Teguh Karya, sambil kuliah di jurusan Film di Institut Kesenian Jakarta. Kisah selanjutnya, ia kecanduan pada film dan terobsesi jadi sutradara.
Sekitar delapan tahun lalu, saya pernah mewawancarainya panjang lebar. Waktu itu ia baru saja menduda setelah gagal dalam perkawinan pertamanya. Saat itu ia mengaku merasa merdeka, tapi tak urung saya menangkap kegelisahan dalam dirinya.
“Saya memang sengaja memelihara kegelisahan. Seniman butuh gelisah untuk menjaga kreativitas dan produktivitas,” ujarnya, tertawa.
Sekarang, setelah menikah lagi dengan aktris Zaskia Adya Mecca dan memiliki empat anak, tentu hidupnya sudah lebih tenang. Lantas, bagaimana ia memelihara kegelisahan?
“Mungkin sepintas lalu hidup saya kelihatannya sudah tenang. Tapi sebenarnya kegelisahan saya sekarang justru makin besar,” ungkapnya. “Jujur saja, saya sangat cemas menyangkut bagaimana saya harus mendidik anak-anak saya. Saya ingin mereka tumbuh jadi orang-orang yang menghargai perbedaan.”
Ternyata hal itu tidak mudah bagi Hanung di tengah derasnya arus radikalisme di sekelilingnya. “Ayah saya orang Jawa muslim dan ibu saya keturunan Cina. Tapi secara genetik, saya banyak mirip Ibu. Dulu waktu kecil saya sering dikatai Cina… Cina… oleh teman-teman saya. Sesekali dipalakin juga. Tapi ya, hanya segitu.
“Selebihnya kami bisa berbaur harmonis dengan teman-teman dari berbagai suku dan agama. Tapi sekarang, anak balita saya sudah bertanya, ‘Pak, kafir itu apa, sih?’ Apa yang harus saya jawab?”
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Erin Metasari