"Kamu mesti membaca buku ini," ujar Happy kepada Sri, suatu hari di tahun 2014. Buku itu Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Ketika menuliskannya, Pram sedang diasingkan di Pulau Buru. Orde Baru menganggap Pram terlalu 'kiri' dan memenjarakannya tanpa sidang. Happy memberikan Bumi Manusia sebagai ulang tahun. "Buku ini telah mengubah hidup saya."
"Oh, yeah, yeah... I'll do it," jawab Sri kala itu. Bagaimanapun, Sri tak pernah membacanya, tidak hingga Natal tiba di ujung tahun. Di sela-sela libur itu, barulah Sri membalik halaman pertama. Dan ia pun terperangkap. Selama empat hari berikut, pikiran Sri selalu bersama Minke, karakter utama dalam buku. Lembar demi lembar dilahap. Dalam keasyikannya membaca, pikiran Sri berkelana. Sebagai desainer perhiasan, ia merasa banyak sekali yang bisa diambil dari buku tersebut. Simbol-simbolnya, misalnya.
Happy tahu bahwa, seperti dirinya, Sri telah jatuh hati pada Bumi Manusia. Jika sudah begitu, biasanya mereka akan terlibat obrolan panjang, sangat panjang, hingga berujung pada lahirnya karya baru dari rumah perhiasan mereka, Tulola.
Mendirikan bisnis bersama seorang teman tentu bisa menyenangkan. Tulola bagaikan sebuah rumah kreatif yang tak pernah berhenti bereksperimen sejak kelahirannya. Namun itu bukan berarti usaha mereka jauh dari tantangan. Tantangan-tantangan awal datang dari diri mereka sendiri. Soal keyakinan satu sama lain, misalnya. "Kami cocok temenan. Tetapi, bisa, nggak, ya, kalau kerja bareng?" cerita Happy. Proses pengenalan satu sama lain itu mirip dengan berkencan.
Sri adalah seorang dengan ide dan energi kreatif yang besar. Di satu sisi, itu potensi. Namun di sisi lain, ia bisa jadi tak terarah sehingga membutuhkan pagar. "Di situlah gunanya aku," jelas Happy. "Tak bisa dipungkiri, ada brand yang perlu kami jaga." Happy menyiasati dengan menyusun tema besar untuk setiap koleksi Tulola. Ia ingin mengikat produk-produknya dengan benang merah. Selain berfungsi sebagai pagar, hal itu diperlukan untuk mempermudah komunikasi ke publik.
Tantangan lain adalah menemukan karakter. Eksplorasi banyak dilakukan, bahkan sebelum bisnis berjalan. Baik Happy maupun Sri berpikir, agar sukses, mereka harus membuat sesuatu yang orisinal. Itu alasannya mereka tak segan menggali dalam-dalam sebuah ide, agar bisa keluar dengan tema unik.
Seri perhiasan pertama Tulola bertema Juwita Malam. "Waktu itu kami nonton keroncong tugu dan mendengar lagu itu, karya Ismail Marzuki. Kami berpikir, mengapa tidak menjadikan kecantikan perempuan, yang selalu menginspirasi orang, sebagai perhiasan?" kata Happy.
Tetapi menerjemahkan sebuah ide menjadi perhiasan tidaklah sederhana. Apalagi, mereka bersinggungan dengan sejarah dan budaya. Mereka tak ingin terjebak dengan kesan tradisional, tapi juga tak mau kehilangan sejarah. Sri mesti jeli merancang. Ia tak bisa mengubah terlalu banyak, atau filosofinya akan luput dari mata orang. "Kami selalu mencari keseimbangan -siluet tradisional dengan motif modern, atau siluet modern dengan motif tradisional. Kami ingin para wanita merasakan sentuhan tradisional, namun tetap merasa kontemporer saat mengenakan.
Juwita Malam akhirnya diluncurkan lewat sebuah eksibisi di Dia.Lo.Gue Atrspace, Kemang, Jakarta, pada 2011. Kesuksesan itu menjadi pembuka bagi tema-tema koleksi selanjutnya, yaitu Pitaloka (2013) dan Tanah Air (2014).
Pada 2015, Tulola meluncurkan seri perhiasan Bumi Manusia. Beberapa koleksinya antara lain Nyai Ontosoroh, sebuah kalung berbentuk kerah yang terinspirasi seragam pada masa kolonial Belanda. Motifnya terinspirasi oleh motif pada gaun Ratu Belanda, Wilhelmina. Ada juga Annelies Mallema, kalung emas bermotif daun yang asimetris, layaknya bunga bermekaran. Atau, Magda Peters, kalung dengan motif kepulauan Indonesia. Dalam novel Bumi Manusia, Peters adalah orang Indonesia yang menentang kolonialisme.
Delapan tahun lebih Tulola berjalan. Kesuksesan ini akan membawa Happy dan Sri menyelami kisah baru di kemudian hari. Di sisi lain, kesuksesan telah memupus keraguan soal apakah keduanya bisa bekerja sama secara profesional. "Now we're married," canda Sri sambil tersenyum.
Foto: Tulola
"Oh, yeah, yeah... I'll do it," jawab Sri kala itu. Bagaimanapun, Sri tak pernah membacanya, tidak hingga Natal tiba di ujung tahun. Di sela-sela libur itu, barulah Sri membalik halaman pertama. Dan ia pun terperangkap. Selama empat hari berikut, pikiran Sri selalu bersama Minke, karakter utama dalam buku. Lembar demi lembar dilahap. Dalam keasyikannya membaca, pikiran Sri berkelana. Sebagai desainer perhiasan, ia merasa banyak sekali yang bisa diambil dari buku tersebut. Simbol-simbolnya, misalnya.
Happy tahu bahwa, seperti dirinya, Sri telah jatuh hati pada Bumi Manusia. Jika sudah begitu, biasanya mereka akan terlibat obrolan panjang, sangat panjang, hingga berujung pada lahirnya karya baru dari rumah perhiasan mereka, Tulola.
Mendirikan bisnis bersama seorang teman tentu bisa menyenangkan. Tulola bagaikan sebuah rumah kreatif yang tak pernah berhenti bereksperimen sejak kelahirannya. Namun itu bukan berarti usaha mereka jauh dari tantangan. Tantangan-tantangan awal datang dari diri mereka sendiri. Soal keyakinan satu sama lain, misalnya. "Kami cocok temenan. Tetapi, bisa, nggak, ya, kalau kerja bareng?" cerita Happy. Proses pengenalan satu sama lain itu mirip dengan berkencan.
Sri adalah seorang dengan ide dan energi kreatif yang besar. Di satu sisi, itu potensi. Namun di sisi lain, ia bisa jadi tak terarah sehingga membutuhkan pagar. "Di situlah gunanya aku," jelas Happy. "Tak bisa dipungkiri, ada brand yang perlu kami jaga." Happy menyiasati dengan menyusun tema besar untuk setiap koleksi Tulola. Ia ingin mengikat produk-produknya dengan benang merah. Selain berfungsi sebagai pagar, hal itu diperlukan untuk mempermudah komunikasi ke publik.
Tantangan lain adalah menemukan karakter. Eksplorasi banyak dilakukan, bahkan sebelum bisnis berjalan. Baik Happy maupun Sri berpikir, agar sukses, mereka harus membuat sesuatu yang orisinal. Itu alasannya mereka tak segan menggali dalam-dalam sebuah ide, agar bisa keluar dengan tema unik.
Seri perhiasan pertama Tulola bertema Juwita Malam. "Waktu itu kami nonton keroncong tugu dan mendengar lagu itu, karya Ismail Marzuki. Kami berpikir, mengapa tidak menjadikan kecantikan perempuan, yang selalu menginspirasi orang, sebagai perhiasan?" kata Happy.
Tetapi menerjemahkan sebuah ide menjadi perhiasan tidaklah sederhana. Apalagi, mereka bersinggungan dengan sejarah dan budaya. Mereka tak ingin terjebak dengan kesan tradisional, tapi juga tak mau kehilangan sejarah. Sri mesti jeli merancang. Ia tak bisa mengubah terlalu banyak, atau filosofinya akan luput dari mata orang. "Kami selalu mencari keseimbangan -siluet tradisional dengan motif modern, atau siluet modern dengan motif tradisional. Kami ingin para wanita merasakan sentuhan tradisional, namun tetap merasa kontemporer saat mengenakan.
Juwita Malam akhirnya diluncurkan lewat sebuah eksibisi di Dia.Lo.Gue Atrspace, Kemang, Jakarta, pada 2011. Kesuksesan itu menjadi pembuka bagi tema-tema koleksi selanjutnya, yaitu Pitaloka (2013) dan Tanah Air (2014).
Pada 2015, Tulola meluncurkan seri perhiasan Bumi Manusia. Beberapa koleksinya antara lain Nyai Ontosoroh, sebuah kalung berbentuk kerah yang terinspirasi seragam pada masa kolonial Belanda. Motifnya terinspirasi oleh motif pada gaun Ratu Belanda, Wilhelmina. Ada juga Annelies Mallema, kalung emas bermotif daun yang asimetris, layaknya bunga bermekaran. Atau, Magda Peters, kalung dengan motif kepulauan Indonesia. Dalam novel Bumi Manusia, Peters adalah orang Indonesia yang menentang kolonialisme.
Delapan tahun lebih Tulola berjalan. Kesuksesan ini akan membawa Happy dan Sri menyelami kisah baru di kemudian hari. Di sisi lain, kesuksesan telah memupus keraguan soal apakah keduanya bisa bekerja sama secara profesional. "Now we're married," canda Sri sambil tersenyum.
Foto: Tulola