Kenyamanan fasilitas adalah langkah pertama yang diperhatikan Hester. Tanah yang awalnya 4.000 meter persegi secara perlahan diperluas hingga 1,5 hektar. “Kelemahan di Indonesia adalah maintenance yang selalu menurun. Nah, itu jangan sampai terjadi di sini.” Jumlah kamar penginapan ditambah hingga mencapai 10 kamar. Tempat kegiatan yang tadinya tumpah ruah di aula dipindahkan ke saung yang dibangun pada 2003. Selalu ada perbaikan agar pengunjung betah. Hal-hal kecil seperti bohlam lampu yang mati, tirai yang copot, hingga AC yang bocor selalu ia jaga jangan sampai terjadi.
Agar tercipta rangkaian kegiatan yang lebih menarik, Hester tahu bahwa ia tak hanya bisa bergantung pada penginapan. Ia pun berkeliling ke daerah sekitar, mencari tahu kebiasaan warga setempat. Saat itu, Hester melihat bahwa selalu ada kerbau yang mandi di sungai, ada petani yang menanam padi di sawah, dan ada pula industri rumahan di sekitar desa. Ia melihatnya sebagai potensi yang dapat dikembangkan.
Soal memopulerkan kampung wisata, Hester mengandalkan promosi mulut ke mulut dari pengunjung yang puas. Hester mengaku tak pandai jika harus memasarkan sendiri. Masih teringat di benak Hester ketika menerima penolakan dari agen perjalanan yang tak tertarik. Tapi Hester membuktikan bahwa instingnya tepat. Tanpa harus banyak bicara, keunikan program berhasil menarik perhatian media massa. Koran, televisi, dan majalah berdatangan meliput tanpa ia minta. Saat baru saja ditayangkan di televisi, Hester kebanjiran telepon dari penonton yang ingin datang.
Bagaimanapun, Hester tak ingin terjadi kesenjangan antara dia sebagai pemilik bisnis dengan warga sekitar. Untuk itu, ia mesti membangun daerah dengan melibatkan penduduk desa, secara bersama-sama. Di awal berdirinya penginapan, ia mempekerjakan mantan pemilik tanah untuk merawat lahan. “Pemilik tanah kami pekerjakan, sehingga ia tak merasa kehilangan lahan,” ungkap Hester. Lambat laun, ketika Hester butuh karyawan, pemilik tanah yang membantu mencarikan pegawai bagi kampung wisata.
“Hampir 100% kegiatan di sini melibatkan penduduk sekitar. Mereka jadi pemandu, pengajar gamelan, tari, dan membantu saya di dapur.” Segala kebutuhan peserta juga dibeli dari penduduk, semisal caping petani untuk dilukis, juga bahan makanan. Kerbau yang dimandikan oleh peserta juga disewa dari penduduk. Ketika para peserta berkunjung ke industri rumahan, Hester membayar pemilik industri. Sering kali peserta membeli buah tangan di sana. Pada akhirnya Hester berhasil memajukan perekonomian penduduk dengan kampung wisata. Hubungan harmonis dan terjalin secara natural. Kini sudah ada 35 karyawan tetap dan 45 karyawan lepas.
Bagi Hester, berada di tengah-tengah karyawan terasa menyenangkan. Perjalanan pulang pergi dari Jakarta-Bogor menghabiskan waktu empat jam, itu kalau lancar. Tapi Hester dengan senang hati melakoni itu setiap hari. “Mereka kerja begitu keras. Menyenangkan hati mereka tidak susah. Tapi memang kita tidak boleh punya arogansi. Berbagilah dengan mereka.”
Sebagai bentuk penghargaan pada karyawan, Hester punya cara khusus. Sudah tiga tahun terakhir, Hester membiayai 10 orang setiap tahun untuk bertandang ke Singapura. Dalam kunjungan itu, Hester mengajak keluarganya agar lebih terasa kebersamaan di antara mereka. Misinya hanya satu, “Saya ingin mereka lebih maju di dalam wawasan.”
Tak terasa, sudah 16 tahun Kampoeng Wisata Cinangneng berdiri. Dalam perkembangannya, Hester mendapat banyak masukan. Ada usul agar Hester membuat flying fox, pemancingan, dan outbond yang tengah menjadi tren. Tapi semua ia tolak. Sama halnya ketika ada ide untuk menambah kamar penginapan. Hester menampiknya—ia takut jati diri Kampoeng Wisata Cinangneng sebagai pedesaan yang asri menjadi musnah.
“Saya tidak mengikutinya, karena itu bukan konsep saya. Yang tamu cari adalah nuansa pedesaan. Jati diri kami adalah desa, sehingga saya tidak mau terpengaruh dengan sesuatu yang sifatnya bukan pedesaan.” Hester berpendapat, jika kamar ditambah, maka kebisingan membuat suara sungai tak akan lagi terdengar. Kalau tawaran outbond diterima, maka ia akan mempekerjakan sarjana sehingga karyawan yang ada akan tersingkir. Padahal cita-citanya ingin memajukan warga.
Kesuksesan tak diraih dengan mudah. Tapi Hester membuktikan bahwa kerja keras selalu membuahkan hasil. Setiap tahun jumlah pengunjung bertambah. Dari 600 orang di tahun 2000, pengunjung menjadi 46 ribu orang di 2015. Setiap hari, paling sedikit 200 pengunjung datang—saat ramai malah bisa mencapai 500 pengunjung. Keuletannya membuat Hester mendapat Penghargaan Inovasi Kepariwisataan Indonesia dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di tahun 2004.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari