Saat mendarat di Bandara Internasional Presidente Nicolau Lobato di Dili, saya merasa asing karena harus membayar visa sebesar 30 dolar AS untuk memasuki República Democrática de Timor-Leste. Ya, kini namanya pun sudah berganti mengikuti Bahasa Portugis, bahasa resmi negara itu. Tambah asing lagi ketika saya memesan kopi dan harus membayar dalam dolar, meski saya memesannya dalam Bahasa Indonesia.
Nyatanya, Dili, ibu kota Timor Leste, tak berubah banyak dibandingkan 25 tahun lalu. Jalan raya di sepanjang pantai tetap sama, hanya kini bertambah ramai dengan taksi kuning. Tidak ada lagi gedung tinggi dan bangunan-bangunan yang masih bergaya kolonial Portugis. Palacio de Governo atau kantor Perdana Menteri masih merupakan bangunan terbagus se-Dili. Pantai di depannya pun masih indah dan bersih. Di bulan November, kita mungkin masih bisa melihat paus bungkuk berenang di sana.
Saya mampir ke Pemakaman Santa Cruz tempat Sebastio Gomes, seorang pendukung kemerdekaan Timor Timur, dimakamkan. Pada November 1991 ia ditembak oleh tentara Indonesia. Saat penguburannya, ribuan orang berdemo yang menyebabkan 250 orang tewas, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Santa Cruz. Ironisnya, hanya berjarak satu blok dari situ, terdapat Taman Makam Pahlawan Seroja, tempat ratusan pasukan Indonesia dimakamkan sebagai pejuang melawan pemberontak Timor Timur.
Landmark Dili adalah patung Cristo Rei atau Kristus Raja. Dengan tinggi 27 meter, ia diklaim sebagai patung Yesus tertinggi kedua setelah Christ de Redeemer di Brasil. Patung ini didirikan oleh TNI sebagai hadiah dari Pemerintah Indonesia dan diresmikan pada 1995 oleh Presiden RI saat itu, Soeharto. Karena letaknya di atas bukit, saya harus mendaki ratusan anak tangga untuk mencapainya. Namun kelelahan itu terbayar dengan pemandangan yang spektakuler. Seratus meter dari dasar bukit terdapat Pantai Areia Branca, atau Pasir Putih dalam Bahasa Indonesia. Pantai cantik dan berair biru ini adalah favorit para penduduk lokal untuk bersantai di akhir pekan.
Timor Leste merupakan salah satu dari hanya dua negara di Asia dengan mayoritas penduduk menganut agama Katolik selain Filipina. Saya berkunjung ke Katedral Immaculate Conception atau Catedral de Dili yang diresmikan oleh Soeharto pada 1988 dan diberkati oleh Paus Yohanes Paulus II yang ketika itu (1989) datang ke sini. Ironisnya lagi, plakat peresmian yang ditandatangani oleh Soeharto kini sengaja ditutupi oleh papan kayu. Sepertinya mereka memang ingin menghilangkan sejarah masa lalu.
Saya mengunjungi wilayah pegunungan yang terletak di selatan Dili, dan mampir di Danau Tasi Tolu (berarti “tiga perairan“ dalam Bahasa Tetun yang mengacu pada dua danau dan satu laut). Melihat keindahannya, saya serasa tidak percaya bahwa danau yang tenang damai ini memiliki cerita horor. Danau itu kabarnya tempat TNI membuang banyak jasad pemuda Timor Timur yang dianggap pemberontak!
Tak jauh dari danau, di atas bukit, terdapat patung Paus Yohanes Paulus II, yang didirikan untuk menghormati dukungan moral Paus terhadap kemerdekaan Timor Leste. Patung beton setinggi 6 meter ini diresmikan pada 14 Juni 2008 di Tasi Tolu, tempat Paus mengadakan misa akbar pada 12 Oktober 1989. Sebuah bangunan berwarna pink di atas bukit menarik perhatian saya. Saya pikir itu theme park, ternyata… istana presiden!