Jalan Setapak Windri di Nur Zahra
Start small. Dua kata ini cocok untuk menggambarkan usaha Windri mengembangkan Nur Zahra. Awalnya, ia tidak tahu apa-apa soal proses menjahit, fashion show busana rancangannya pun dilakukan di arisan orangtua murid. Kini ia sudah paham perihat teknik menjahit yang tepat untuk rancangannya. Panggung fashion interasional pun telah ia rambah. Windri punya cita-cita besar, ingin menjadikan Nur Zahra menjadi brand besar yang bisa mewakili Indonesia di panggung internasional. “Tak cuma bisnis, saya berharap ada rumah sakit dan sekolah di bawah nama ini. Tapi itu masih jauh. Rencana saya dalam waktu dekat ini akan menulis buku tentang entrepreneurship, tekstil, dan pewarna alami.”
Obrolan kami siang itu seolah menjadi ajang nostalgia Windri. Pekerjaan terakhirnya membuat ia berefleksi, ia kurang menengok ke bawah dan cenderung menatap ke atas. Windri kemudian mulai bergabung dengan teman-temannya di beberapa kegiatan sosial. “Memang betul beramal bisa dari hal kecil, tapi agar berdampak lebih besar kita harus berusaha lebih.”
Selagi menanti persiapan latar untuk pemotretan dan videografi, saya berkeliling ruangan butik dan melihat-lihat busana-busana bermotif batik indigo yang mendominasi ruangan. Tanpa memperhatikannya dari dekat, sebenarnya sudah terlihat bahwa ini bukan motif batik Jawa yang umum ditemui. Motif-motif bunga dan bentuk-bentuk geometrisnya ini seolah punya sentuhan Islami yang mirip seperti saat Anda sedang menatap karya kaligrafi. “Ini memang inspirasinya dari Islamic art, tapi dibuat dengan teknik membatik,” jelas Windri dari seberang ruangan, tampak sibuk mengeluarkan beberapa clear file dari sebuah kabinet.
Saya lalu bergeser untuk menilik deretan jersey-nya yang populer, dan tatapan saya teralih ke bagian atas rak. Ada lembaran publikasi berbahasa Italia yang terbingkai, yang ternyata adalah halaman New Wave majalah Vogue Italia. Tapi ternyata tak hanya itu saja. WWD dan Harper’s Bazaar edisi Amerika serikat pun sempat memberitakannya setelah brand ini tampil di acara Mercedes Benz Fashion Week di Tokyo. Kala itu Windri dengan Nur Zahra dan Ari Seputra dan timnya dengan Major Minor mempresentasikan rancangan mereka sebagai desainer Indonesia Fashion Forward untuk koleksi Autmn/Winter 2014.
Beberapa lembar kertas dengan ilustrasi berwarna di atasnya terhampar di meja di tengah ruangan, penasaran, saya mendekatinya. “Saya dibantu untuk membuat gambar-gambar ini. Ada orang-orang yang memang di bidang desain, ada juga yang dibuatkan oleh anak perempuan saya.” Windri pun mengeluarkan selembar kertas dengan beberapa model wanita semampai mengenakan busana Nur Zahra. Kali ini warnanya turquoise dan gradasi cokelat-oranye yang hangat, diwarnai dengan cat air dengan goresan yang baik. Windri pun tampak bangga dengan hasil tangan puteri bungsunya itu. Selain desain ilustrasi, Windri juga dibantu beberapa tim terpercaya yang kompeten di bidangnya, sementara ia fokus di operasional dan kreatif NurZahra.
Menjelang akhir pertemuan saya dan Windri, saya sempat bertanya soal pengaruh networking untuk bisnisnya. Menjawabnya, raut wajahnya berubah serius. Ia mengakui, jejaring luas yang sudah ia bangun sebelumnya sangat berpengaruh ketika ingin memulai bisnis, tapi pada akhirnya, kendali tetap berada di tangan si pengusaha. “Percuma saja orang-orang membukakan jalan tapi kita sendiri yang merusaknya. Jaga kepercayaan yang didapat setelah Anda menapaki kesempatan emas yang datang, yang salah satu caranya dengan menjaga stabilitas kualitas,” pungkasnya mantab. Saya lalu melirik jam tangan dan menemukan bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua. Seorang sahabat pun menghampiri Windri, menagih janji makan siang bersama, sekaligus menutup perbincangan kami hari itu.
Foto: Dennie Ramon