Dan begitulah, ‘masalah pribadi’ ini berujung menjadi peluang usaha, Windri membangun Nur Zahra di tahun 2009, sebuah brand modest wear yang berarti cahaya yang bersinar. Koleksinya bervariasi, dari perlengkapan hijab dasar hingga outerwear modis yang bisa dikenakan siapa saja.
Kala itu, Windri fokus pada busana-busana nyaman berbahan kaus dan jersey. “Semua perlu proses, dan saya tak ingin terburu-buru, tapi tenggelam dengan segera. Yang penting ada target realistis untuk selangkah lebih maju.” ungkapnya optimis. Terbukti, Nur Zahra tampil di Dewi Fashion Knight pada Jakarta Fashion Week 2015, dan di tahun ini sudah ada butik resmi Nur Zahra. “Alhamdulillah sejauh ini target saya bisa tercapai.”
Sebelum bertemu Windri hari itu, saya sempat mengunjungi workshop Nur Zahra yang berada di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Di sana saya bertemu dengan Yanto, yang mengurusi pemotongan kain-kain unik Nur Zahra. “Kain-kain ini mainnya di motif, Mbak, dan sengaja dipotong khusus supaya motif-motif ini bisa tetap begitu (simetris) waktu dipakai. Jadi motongnya nggak bisa sembarangan.” jelasnya sambil membentangkan kertas pola ke atas kain indigo Nur Zahra yang khas. Dengan terampil Yanto mulai menggunting kain mengikuti pola sebuah outerwear karya Windri. “Di sini cuma saya yang dipercaya motong kain ini, kalau yang lain tak berani,” ujarnya sembari tersenyum bangga.
Teknik memotong ini cuma sebagian kecil saja dari rangkaian proses pembuatan helaian premium busana-busana Nur Zahra. Koleksi premiumnya, The Heritage Indigo Batik mengangakat batik indigo dan teknik tie dye dari Jepang yang disebut shibori. Warna indigo Nur Zahra spesial karena menggunakan pewarna alami, ungkap Windri. Untuk mendapatkan kepekatan seperti itu kain harus dicelup beberapa kali. Proses pembentukan tumbuh-tumbuhan bahan dasarnya menjadi pasta pewarna pun memerlukan waktu hingga tiga bulan. Itu belum ditambah dengan masa riset dan mengonsepnya. Tak heran jika selembar scarf batik indigo Nur Zahra bisa dibanderol hingga 3,2 juta rupiah.
Akan selalu ada alasan di balik sesuatu yang begitu bernilai. Demikian juga proses hidup seseorang. “Dari dulu saya selalu bingung kalo ditanya soal passion. Rasanya saya nggak pernah bisa loyal dan berdedikasi di satu hal sampai di Nur Zahra ini,” tuturnya. Wanita yang pernah membuka usaha travel, kuliner, dan majalah ini pun bercerita tentang perjalanan kariernya yang berpindah-pindah. Tak selalu mulus, tapi Windri selalu punya tekad untuk mengerjakan proyek-proyeknya dengan upaya terbaik. “Saat baru pertama kali bekerja saya pernah dianggap tidak bisa kerja. Pernah juga merasa dibatasi, padahal saya punya goal yang jelas. Kalau sudah begitu lebih baik saya hengkang,” ujarnya. Ada keraguan yang muncul tapi keberanian dan keyakinannya membunuh rasa itu.
Perasaan tak leluasa ini juga yang sempat membayanginya saat awal mendirikan Nur Zahra. Ia merasa tertantang menapaki jalan yang sama sekali baru ini. Kuncinya, mindset harus berubah dari bekerja sebagai karyawan menjadi wiraswasta. “Ditolak sempat membuat saya down. Padahal biasanya, menunjukkan kartu nama saja, orang-orang akan langsung ‘buka pintu,’ Tapi tanpa itu tentu saya nggak di sini,” ucapnya legowo.