Sekilas melihat wajahnya, saya tahu ia adalah sosok yang hangat. Kulitnya putih, matanya berbinar, dan gayanya sederhana tanpa makeup.
Sore itu ia mengenakan gamis hitam longgar yang dipasangkan kerudung hitam menutup dada. Ia menyapa saya dengan senyum ramah di butik Irna La Perle di lantai tiga Kemang Square, Jakarta Selatan. Ia adalah Irna Mutiara, yang konsisten merancang busana muslim sejak 2004.
Kini, ia telah memiliki empat lini busana muslim yang memiliki ciri khas masing-masing. Ada Irna La Perle yang menyediakan busana pengantin muslim, Irna Mutiara dengan busana ready-to-wear yang kasual, IM Syar’i yang mengikuti kaidah syar’i, dan Ina’s Scarf yang menyediakan scarf dari wastra Nusantara.
Irna juga Founder dari Islamic Fashion Institute (IFI) yang berdiri di Bandung pada tahun 2016. IFI adalah sekolah fashion yang fokus pada desain busana muslim pertama di Indonesia.
Selama hidupnya, Irna kerap menghadapi banyak kesulitan. Pertama, kesulitan ekonomi membuatnya tak dapat menyelesaikan kuliah di IKIP jurusan Tata Busana. Kedua, bisnis konveksinya harus gulung tikar saat krisis moneter tahun 1998. Padahal, waktu itu pesanan baju anak yang dipasok ke department store bisa mencapai 200 lusin hanya untuk satu model.
Walau begitu, Irna tak menyerah. Perlahan ia bangkit dengan melayani pembuatan baju seragam karyawan. Irna mendatangi satu per satu kantor untuk menawarkan jasanya. Mulai 2004, Irna fokus mendesain busana muslim seiring dengan kemenangannya di Lomba Rancang Busana Muslim Majalah Noor.
Kesuksesan tak ingin dirasakan Irna seorang diri. Ia ingin menurunkan ilmu kepada desainer muda yang kelak menjadi penerusnya. “Saya berpikir, ini ada tongkat estafet ya. Ada masanya kita muncul, ada masanya kita dilupakan. Kalau saya memilih agar ilmu yang saya miliki ini melekat dan terus dimanfaatkan oleh orang-orang sekitar,” ungkap pendiri HijabersMom Community ini.
Irna pun mengajak dua rekan desainer, Nuniek Mawardi dan Deden Siswanto, untuk ikut mengembangkan IFI.
Melihat ramainya bisnis busana muslim, Irna melihat masih banyak yang belum mengikuti kaidah Islam, antara lain adalah menutup aurat kecuali wajah dan telapak tangan, tidak ketat, transparan, menyerupai pakaian laki-laki, memakai motif-motif yang menimbulkan kontroversi semisal simbol agama lain, dan menggunakan gambar makhluk hidup. Seorang muslimah juga diharapkan menjauhi sikap boros.
“Misalkan busana ekor pengantin mencapai panjang delapan meter. Semuanya harus cantik, elegan, tetap enak dipandang mata, kemudian tidak menjadi sumber kontroversi,” ujar Irna. Setelah memahami kaidah berbusana muslim, diharapkan para desainer jebolan IFI dapat bebas berkreasi di dalam batasan yang ada.
Ide awal membangun IFI adalah pengalaman Irna yang pernah mengajar di sebuah SMK di Kudus. Selama setahun, Irna diminta menjadi Program Trainer CSR sebuah perusahaan. Karena Irna sudah membuat modul pendidikan, ia berpikir alangkah sayang jika modul itu terbengkalai.
Selain itu, di tahun 2014, Irna ikut sebagai tim perumus Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk profesi fashion designer. SKKNI menentukan apa saja kompetensi yang harus dimiliki fashion designer. Kelak, para desainer akan diuji kemampuannya untuk mendapatkan sertifikasi.
IFI menyediakan tiga program reguler, yaitu Fashion Designer, Fashion PR & Marketing, dan Fashion Stylist. Selain pintar mendesain busana muslim, siswa IFI menjadi pebisnis busana muslim yang andal. Karena itu, ada kelas trend forecasting, riset pasar online maupun offline, dan business plan.
Ternyata, peminatnya luar biasa. “Bahkan, siswa kami ada yang usia sembilan tahun,” ungkap Irna.
Sejauh ini IFI sudah memiliki hampir 100 siswa. Kerja sama dengan organisasi Japan Muslim Fashion Association juga sudah dijalankan oleh IFI sejak tahun 2016. Sebanyak tiga siswa IFI memenangkan lomba desain busana muslim dengan bahan kimono. Sebagai hadiahnya, mereka diberangkatkan ke Jepang untuk hadir di Halal Expo dan melihat industri tekstil di sana.
Foto: Jane Djuarahadi
Pengarah gaya: Erin Metasari