Anda yang mengalami masa kecil di tahun 70-an hingga pertengahan 80-an tentu masih sering menikmati hidangan sehari-hari yang disiapkan ibu Anda di rumah.
Sepiring nasi dengan lauk sepotong daging ayam (atau daging sapi, atau ikan, atau telur), sepotong tempe atau tahu, dan semangkuk kecil sayur, kadang-kadang ditambah kerupuk. Semua dijatah masing-masing satu potong agar seluruh anggota keluarga kebagian.
Rasanya menu seperti itu sudah lebih dari cukup bagi keluarga kelas menengah di zaman itu, saat perekonomian negara kita baru mulai merangkak naik.
Tapi lihatlah sekarang. Anak-anak balita pun sudah biasa melahap dua potong ayam goreng berukuran besar di resto ayam goreng terkenal.
Seorang anak praremaja sanggup melahap dua burger ukuran besar plus topping keju tebal sekali makan. Ada pula yang memesan 25-30 tusuk satai kambing untuk dirinya sendiri. Atau, memesan steik seberat 400 gram.
Semua itu hanya untuk menuruti selera makan yang tak ada habisnya. Dan semua itu ditangkap dengan sigap oleh pihak resto dan penjaja kuliner sebagai peluang bisnis yang gurih.
Mereka lantas ramai-ramai menawarkan opsi top-up dengan ukuran dua-tiga kali lipat lebih besar dari ukuran reguler. Atau, membuat promo 2-in-1, 3-in-1, dan seterusnya. Makin banyak dan makin besar ukuran makanan yang dibeli, makin murah harganya.
Di luar negeri, keadaannya tak jauh berbeda. Kalau melihat tayangan-tayangan wisata kuliner di TV, terutama di Amerika Serikat, kita akan melihat betapa kini banyak orang makan daging secara jor-joran, jauh di atas kebutuhan tubuh akan protein hewani—hanya karena mereka mampu membelinya.
“We are true carnivore!” seru mereka, bangga.
Akibatnya, kini makin banyak orang muda yang sudah terserang tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, serangan jantung, stroke, dan kanker.
Di sisi lain, karena terlalu banyak dan tak tertampung lagi oleh tubuh, banyak makanan sisa terbuang percuma sebagai sampah. Dan hewan ternak pun mati sia-sia hanya untuk memenuhi kerakusan manusia.
Daging, telur, atau susu mereka yang seharusnya memberi manfaat bagi kesehatan manusia akhirnya justru berakhir sebagai penyakit yang mematikan.
Fakta global itulah yang memicu keprihatinan sekelompok orang, yang kemudian menciptakan dan memperkenalkan Gerakan Reducetarian (Reducetarian Movement) ke seluruh dunia.