Tahun 2000, negeri ini dipimpin oleh Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Inayah Wahid, sang anak bungsu, ikut merasakan perubahan dalam hidupnya.
Sebagai anak presiden, ia harus mendapat pengawalan. Nay, demikian ia dipanggil, merasa risih. Ia tidak suka selalu diawasi dan diikuti, termasuk ketika kuliah. Diam-diam Nay kabur meninggalkan pengawal di kampus dan pulang ke rumah naik kereta.
“Sampai di rumah, saya dimarahi Kak Alissa. Katanya, meski Bapak-Ibu tidak marah pada saya, pengawal saya dihukum atasannya karena dianggap lalai dalam bertugas. Sejak hari itu, saya sadar bahwa setiap pilihan hidup punya konsekuensi jangka panjang, tidak hanya apa yang kita pikir terbaik di saat itu saja,” ujar Inayah Wahid.
Inayah adalah anak ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan Sinta Nuriyah. Tiga kakaknya, yaitu Alissa Wahid, Yenny Wahid, dan Anita Wahid.
Anak-anak perempuan Gus Dur tumbuh dengan ajaran bahwa mereka berhak melakukan apa pun, asal bertanggung jawab. Nay mengaku, ia yang paling ‘provokatif’. Saat di bangku sekolah, ia pernah bolos satu bulan.
“Bapak dipanggil pihak sekolah. Sampai di rumah, Bapak mengajak berdialog. 'Kamu nantinya mau ngapain? Orang hanya bisa jadi pintar kalau belajar dan kerja keras.' Dia nggak marah, tapi menjelaskan apa yang dibutuhkan untuk menjadi sukses.”
Saat ayahnya masih menjabat, Nay kerap berganti warna rambut. Gus Dur tidak melarang. “Beliau bilang, kamu sudah paham kalau secara fiqih mengecat rambut tidak boleh? Ini mungkin bikin kamu dihujat orang. Kalau siap, silakan.”
“Bapak ingin saya patuh karena paham, bukan nurut karena takut. Saya dididik untuk jadi perempuan mandiri yang bertanggung jawab,” kisah Nay.
Ia mengakui ada beban berat sebagai anak Gus Dur. “Orang-orang sering berpikir kami adalah perpanjangan Gus Dur. Semua anak-anaknya harus sama seperti bapaknya. Mereka bikin standar yang mesti saya ikuti. Salah satu yang sering ditanyakan, kenapa anak kyai nggak pakai hijab?” ujarnya.
Ia menyadari identitasnya. Sebagai perempuan, beragama Islam, turunan Jawa, dan orang Indonesia. Semasa hidupnya, Gus Dur kerap membela orang-orang dan kelompok minoritas.
“Dulu saya belum paham kenapa bapak begitu gigih memperjuangkan mereka. Sekarang saya mengerti. Rasanya menyakitkan jika kita melihat dari sisi yang tertindas,” ungkap Nay serius.
Ia menilai masalah Indonesia saat ini bukan semata kurangnya pemahaman akan pluralisme, melainkan tidak adanya hukum yang kuat.
“Mereka yang intoleran juga bagian dari perbedaan yang harus kita hargai. Masalahnya, ketika yang intoleran itu merasa berhak menyakiti orang lain yang dianggap tidak sama, lalu berbuat kekacauan, maka negara harus memastikan hukum bisa ditegakkan.”
Ia menambahkan, “Sejak lama bangsa ini memang dididik untuk tidak merayakan perbedaan. Agama dibatasi hanya lima yang diakui negara, padahal ada ribuan keyakinan. Apakah negara ini sudah benar-benar menghargai perbedaan? Sejak dulu, yang minoritas tertindas, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak betul-betul terjadi.”
Inayah bercerita tentang usaha ia dan tiga kakak perempuannya meneruskan perjuangan sang bapak