Gaya hunian seseorang tak melulu harus bersifat tunggal. Kuncinya adalah menyerasikan bermacam gaya para penghuninya menjadi perpaduan yang manis
“Banjir, ya,” para tetangga melihat Agung sedang menguras air yang membanjiri rumahnya. “Iya, Pak,” jawab Agung. Di daerah Cimanggis, Depok, Jawa Barat, ini rumah para tetangga sudah lebih tinggi dari rumah pasangan Agung dan Fitri sehingga air banjir tidak masuk ke rumah mereka. Sambil membersihkan rumah, Agung bertekad membenahi rumahnya menjadi rumah yang nyaman, asri, dan tentunya bebas banjir, seperti impiannya.
Agung berbagi kenangan tersebut dengan saya. Sore itu, kami sedang berdiri di teras atas rumahnya. Sekarang, rumah pasangan tersebut sudah ditinggikan 1,5 meter sehingga air banjir tidak lagi memasuki rumah. Berdiri di atas lahan seluas 220 meter persegi, dari luar rumah ini terlihat begitu asri. Meski dindingnya berwarna abu-abu karena dibiarkan telanjang tanpa cat, semburat warna hijau dedaunan seolah hadir untuk menghangatkan permukaan kelabu.
Pohon yang ada di bagian depan rumah adalah pohon Liang Liu atau yang populer dengan nama Janda Merana. Pemilihan jenis pohon ini adalah murni ide Fitri. “Rumah ini unsurnya keras semua. Ada baja, batu, kayu—rasanya perlu unsur yang melembutkan,” katanya. Ini memang bukan pilihan satu-satunya, tapi pilihan sang nyonya rumah yang akhirnya keluar menjadi juara. Walau bukan menjadi tujuannya, kehadiran pohon Liang Liu membuat area depan rumah seperti taman zen. Dilengkapi bangku-bangku kayu, saya bisa membayangkan betapa nikmatnya duduk-duduk di sini di sore hari.
Rumah ini adalah dua rumah yang dijadikan satu. Setelah meninggali rumah ini selama delapan tahun, tetangga sebelah mereka ingin menjual rumah mereka. Kesempatan ekspansi ini langsung diambil oleh Agung dan Fitri. Masalah baru muncul, gaya rumah tetangga mereka sangat bertolak belakang. Bagaimana menyatukannya?
Agung dan Fitri punya mimpi. Mimpi sebuah rumah dengan halaman, tempat mereka bisa menikmati alam. Mimpi sebuah rumah yang luas, dengan sekat minimalis. Mimpi-mimpi tersebut mereka masukkan ke area perluasan rumah. Besar di asrama tentara, Agung mengimpikan sebuah halaman yang penuh dengan tanaman. Namun ia sadar hal itu akan menghabiskan ruang yang cukup luas. Solusinya, halaman pindah ke lantai atas. Tanaman yang ada di atas beragam macamnya. Ada anggrek, tanaman merambat, dan satu pohon Bodhi. Selain roof garden, di lantai atas ada sebuah container yang telah disulap menjadi kamar tidur Rio, anak semata wayang Agung dan Fitri.
Walau telah menjadi satu, dua bagian rumah memiliki gaya berbeda. Rumah awal mereka bergaya minimalis tidak banyak sekat, jumlah dan bentuk furnitur hanya yang diperlukan. Sementara area rumah baru dibuat sangat berbeda, ekstrem. Jika rumah satu menggunakan keramik dan dindingnya dicat, maka area yang baru ini tidak. Lantai dan dindingnya hanya semen dan bata.
Satu bidang dinding bata menjadi area memori bagi keluarga ini. Di sini terpampang foto-foto yang memiliki cerita. “Ini foto Rio ketika dipangil ke atas panggung oleh David Foster,” Fitri bercerita. Produser tersohor asal Amerika Serikat itu bingung melihat Rio yang saat itu berusia sembilan tahun. Padahal artisartis yang ia bawa berasal dari angkatan jadul, jelas bukan idola anak-anak.
“Peter Cetera,” itu jawaban Rio ketika ditanya Foster siapa yang ia idolakan malam itu. Tak tanggung-tanggung, Foster akhirnya memanggil Rio untuk bernyanyi bersama Peter Cetera ke atas panggung di konsernya. “Ibunya yang melihat di belakang sudah pingsan, bangun lagi, pingsan, bangun lagi,” kata Fitri, tertawa.
Pintu-pintu kaca di area ini bisa dibuka sehingga rasanya rumah menyatu dengan area luar. “Kami ingin berbagai kebahagiaan dengan orang lain. Saya ingin ada pengajian tiap bulan jika ada rezeki,” ujar Agung. Inilah peruntukan ruang tersebut. Karena itu, ketika diperlukan dapat disulap menjadi satu area yang luas, sejuk diembus semilir angin.
Sebuah meja makan ada di tengah ruangan ini. Uniknya, meja makan ini terdiri atas lima lembar kayu bekas bangku panjang yang dijadikan satu. Mungkin Anda sering melihatnya sebagai bangku tukang bakso di pinggir jalan. Karena itu, meja tersebut tidak rata, penuh coretan. Tapi itu justru yang dicari Agung. Seperti juga dengan penyelesaian dinding. Ia justru tak mau rumahnya terlalu rapi. “Saat membangun rumah, tukangtukang sampai bingung, aneh melihat kami yang tidak mau pengerjaannya rapi,” katanya. Agung dan Fitri sepakat, area rumah baru mereka ini adalah area santai, tempat chill out. Kata Agung, di sini Anda bebas menaikkan kaki.
“Kami orang rumahan. Maka itu kami ingin rumah yang bikin kami nyaman. Setiap sudut ada feel-nya. Cieee…,” tawa renyah Fitri mengikuti ucapannya. Kami pun tertawa bersama. Memang itulah yang saya rasakan, kehangatan, atau yang disebut Fitri sebagai ‘feel’, di setiap sudut ruang hunian ini. Hingga tak terasa malam telah menjelang dan rujak di meja makan yang menemani obrolan kami telah habis disantap. Waktunya untuk pulang.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah visual: Erin Metasari