Tahun 2010, YCG mulai fokus pada tiga isu utama: Kebinekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.Henny mengakui, pada saat mulai membawa tiga isu ini di lapangan, banyak penolakan yang terjadi. “Mereka menyatakan tidak ada masalah, tapi nyatanya keluhan terjadi di mana-mana dan semua dinyatakan dengan berbisik-bisik. Justru ini yang bahaya.
Ada penyempitan-penyempitan kearifan lokal yang dulu mereka miliki dan sangat bagus untuk pendidikan. YCG mencoba untuk bersama-sama dengan teman-teman di sekolah-sekolah untuk memperkenalkan kembali sesuatu yang mungkin sudah dilupakan. Kami ingin mengangkat kembali kearifan lokal yang sebetulnya menjadi kekayaan,” jelas Henny.
Jika dalam pelatihan pengelolaan kelas YCG selalu bermitra dengan Dinas Pendidikan, maka untuk isu kebinekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan YCG bermitra dengan lebih banyak pihak. Misalnya dengan pekerja seni (teater koma), dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), juga dengan pengelola tempat-tempat ibadah. Setelah workshop menghasilkan tiga angkatan, YCG berencana membangun Sekolah Guru Kebinekaan (SGK). SGK adalah pelengkap dari pelatihan pengelolaan kelas yang telah dirintis oleh YCG.
“Guru yang ideal adalah guru yang bisa memanfaatkan semua yang ada di lingkungannya menjadi sumber belajar—termasuk muridnya,” kata Henny. Itu sebabnya, dalam menjalankan SGK nanti, pengelolaan kelas tidak akan dihapuskan dari YCG tetapi dikolaborasikan dengan materi-materi SGK. “Saya berharap guru-guru ini bisa menjadi sel sehat yang bisa membelah diri di sekolah dan di lingkungannya,” ujar Henny.
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Siti Hanifiah