Lewat Javara, Helianti berniat menjaga agar komoditi pangan kuno tidak punah, dan lahan yang dimiliki para petani tetap terjaga.
Terpicu oleh harapan para petani yang meminta bantuan untuk mengakses pasar yang lebih luas, pada 2009 Helianti, Founder Javara Indigenous Indonesia, melakukan road show selama tiga bulan, berkeliling dari Jawa hingga Bali.
Dalam road show itu, ia menemukan sisi lain petani: Banyak petani bercocok tanam bukan sekadar untuk alasan ekonomi, melainkan demi alasan spiritual. Bagi mereka, pangan adalah subsidi Tuhan yang tak boleh disia-siakan.
“Saat itu belum terpikirkan soal Javara. Saya hanya ingin membantu mereka yang tidak ingin menyia-nyiakan subsidi Tuhan,” kenang Helianti tentang awal terbentuknya Javara, yang memproduksi bahan pangan Indonesia secara artisanal.
Namun, mewujudkan keinginan itu bukan tanpa tantangan. Banyak masalah perlu penyelesaian—dari permodalan, manajemen produksi, penggunaan teknologi, hingga cara mempertahankan kualitas. Helianti merasa perlu merancang sistem dari hulu ke hilir untuk mengatasinya.
Dari situ, ia mulai mencari cara agar produk-produk itu bisa sampai ke pasar. Jawabannya: Membangun Javara. Lewat Javara, produk- produk itu dikemas dengan baik agar awet sekaligus menarik perhatian. Javara menetapkan tiga standar kemasan—food safety (bagaimana kemasan menjaga isi), fungsional (kemasan mudah dipasang dan dibuka), dan artistik (atraktif, memancing orang untuk membeli). Ia juga menambahkan cara penggunaan produk secara rinci.
Dalam dua tahun pertama, Helianti berusaha keras menggaet pasar domestik, namun respons pasar lambat. Pada 2012, ia mencoba langkah lain untuk mendongkrak penjualan dengan cara melakukan ekspor. “Permintaan pasar global akan produk-produk organik, low GI, gluten free, ternyata dapat dipenuhi oleh bahan pangan kuno. Tantangannya adalah bagaimana memenuhi standar pasar global,” jelas Helianti.
Mengetahui hal itu, Helianti mulai aktif mengurus berbagai sertifikasi dan turut serta dalam berbagai pameran di mancanegara. Targetnya adalah pameran-pameran besar. Strategi itu pun lambat laun menuai hasil. Hingga kini, produk Javara telah menjangkau 19 negara, termasuk Jepang, Korea, Amerika Serikat, juga Eropa.
Selain menjual produk, Javara memiliki misi lain yang tak kalah penting, yaitu menjaga agar komoditi pangan kuno tidak punah, dan lahan yang dimiliki para petani tetap terjaga. Untuk mewujudkannya, Javara banyak mengadakan entrepreneurship workshop untuk petani-petani muda, dengan konsep awal pemberdayaan apa yang sudah ada di alam.
Javara juga menjalankan capacity building yang akan membantu petani dalam proses produksi. “Misalnya, petani garam di Bali. Garam, secara tradisional, dijemur di bawah matahari. Tapi kalau musim hujan, bagaimana mau produksi? Makanya kami bangun solar houses. Javara ingin agar kekuatan basis produksi didesentralisasi, tidak perlu semua diolah di Jawa.”
Selain mengemas bahan pangan yang diproduksi petani, Javara kini membuat produk baru dari olahan bahan pangan yang ada. Misalnya, coconut jam, cashew butter, coconut chip, tepung untuk pancake dan waffle, serta beberapa snack. “Kami melihat kasus petani tomat yang harganya jatuh karena panennya melimpah tapi tidak bisa mengolah. Kalau dijadikan saus tomat, harga tidak akan jatuh. Dengan mengolah bahan pangan, harga bisa kami kunci,” kata Helianti.
Kini Javara telah bekerja sama dengan 50 ribu petani dan menghasilkan 700 macam produk. Ia telah mapan. Karena Javara berasal dari kata dari Bahasa Sanskerta, “jawara”, yang memiliki arti “juara” rasanya pemilihan nama itu bukan sesuatu yang muluk.
Foto: Hermawan
Pengarah visual: Dian Prima