Hari itu, siswa-siswi dari SD Yahya Bandung membuka acara peresmian dengan permainan angklung mereka. Secara simbolik, beberapa dari mereka mengenakan jas lab bertuliskan “Ahli Konservasi Air” yang disandangkan oleh Devy Suradji, Direktur Marketing WWF-Indonesia dan Nuni Sutyoko, Senior Vice President HSBC Indonesia.
Laboratorium Edukasi Air ini berwujud sebuah ruangan berwarna-warni ceria khas anak-anak di Rumah Belajar Bumi Panda. Di dalamnya, ada berbagai peralatan terkait yang digunakan untuk menguji sampel air dan kelayakannya untuk konsumsi air minum. Salah satu dindingnya dipenuhi mural berupa peta Indonesia yang menunjukkan habitat alami beragam flora dan fauna, sementara dinding lainnya terpasang rak berisi miniatur dapur dan kamar mandi.
Selain momentum Hari Air Sedunia, kepedulian terhadap air ini digemakan WWF karena semakin sedikitnya ketersediaan air tawar. Dari 3% air tawar di permukaan bumi, cuma 1% yang yang bisa diakses oleh manusia di darat. Kerusakan lingkungan pun tak ayal memengaruhi persentase yang sudah minim ini. Uniknya, meski data WWF menebutkan adanya defisit air tawar di berbagai wilayah di Indonesia, beberapa daerah di Sumatra mengalami surplus air. Ini menimbukan semangat baru untuk memberi perhatian lebih di daerah-daerah itu agar air di sana tetap terjaga.
WWF sendiri sedang menjalankan program konservasi sungai di Rimbang Baling, Riau. Di sana, WWF dan masyarakat lokal bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Riau. Adanya program freshwater bersama HSBC di Riau inilah yang kemudian diwujudkan dalam laboratorium edukasi air di Bumi Panda, agar masyarakat, khususnya anak-anak, menyadari peran penting air dalam kehidupan.
Devy Suradji menyebutkan, Rimbang Baling dipilih sebagai lokasi program ini karena budaya lokal dan keragaman hayati di sana. Dengan luas wilayah 140.000 hektar, terdapat 23 suku yang mendiami 14 desa. 50 jenis mamalia, 170 spesies burung dan lima spesies kucing hutan pun turut hidup di area ini.
Masyarakat yang kehidupannya dekat dengan sungai ini juga memiliki kearifan lokal berupa Lubuk Larangan yang berperan menjaga keseimbangan alam. Lubuk Larangan ini merupakan suatu area di perairan mereka yang hanya boleh 'dipanen' ikannya setahun sekali. Waktu yang cukup untuk memulihkan ekosistem air agar tetap membawa manfaat bagi yang tinggal di sekitarnya. Hasil panen ini sebagian akan dibagi ke seluruh warga desa dan sisanya dijual untuk membiayai pembangunan desa.
Foto: Mardyana Ulva