Namanya secara harfiah bermakna bahagia. Sang pemilik nama cuma berupaya mempertahankan rasa itu dalam tiap kegiatan berkeseniannya.
Siang itu terasa teduh di area Dia.Lo.Gue Art Space, tempat berlangsungnya pameran EXI(S)T #5: Body of Land Surrounded by Water, yang memamerkan karya enam seniman muda Jakarta.
Happy Salma hadir tak lama setelah tim PESONA menata lokasi pemotretan. Ia menyapa kami dengan riang sembari menyunggingkan senyum ramah. Menenteng sebuah tas tangan, wajahnya tampak segar. Putri kecilnya yang cantik, Kina, bergelayut di sisinya. Bocah berusia hampir dua tahun ini seolah enggan jauh-jauh dari ibundanya.
Sementara wajahnya dirias dan sang putri asyik bermain bersama pengasuhnya di sisi lain ruangan, seniman kelahiran Sukabumi, 4 Januari 1980, ini bercerita soal keterlibatannya baru-baru ini dalam pentas Sabdo Pandito Rakjat yang disutradarai Sujiwo Tejo. Happy tak henti-hentinya menyatakan kekaguman pada seni teater di Tanah Air dan orang-orang yang berkarya di dalamnya.
“Naskahnya ditulis oleh Mas Butet (Kartaredjasa) dan Mas Agus (Noor). Mereka jenius banget meramunya. Meski proses latihannya nggak begitu banyak, kami bisa bonding dengan cepat,” ungkapnya. Sabdo Pandito Rakjat bercerita tentang perkelahian dua bersaudara, Arjuna dengan Karna. Happy Salma memerankan karakter Kunti, ibu dari dua bersaudara lain ayah yang berseteru tersebut.
Pertunjukan itu dipentaskan sekitar dua minggu setelah Happy bermonolog dalam Perempuan Dangdut karya Putu Fajar Arcana. Pendiri Titimangsa Foundation ini memerankan Liza Sasya, biduan dangdut Pantura yang pantang pulang kampung sebelum jadi pedangdut tenar Ibu Kota.
Baru saja jadi pedangdut, langsung switch jadi Kunti, apa ia tak kelimpungan? “Nggak masalah, karena ketika lampu mulai menggelap, dan tepuk tangan penonton mereda, saya kembali ke nol. Saya siap ke peran berikutnya,” katanya kalem.
Peran-peran yang ia lakoni selama ini, serta upayanya menghidupkan pertunjukan teater lewat Titimangsa Foundation, bukan tanpa hambatan. Mulai dari soal regulasi hingga pendanaan, ditambah perkara kerja sama hingga respons masyarakat, banyak rintangan yang harus ia hadapi dengan sikap fleksibel.
“Kalau kata orang Bali, ada yang namanya desa, kala, patra. Artinya, ada waktu, tempat, dan situasi yang menentukan sikap kita. Jadi biasanya saya akan melihat kondisi juga. Misalnya, layak apa tidak saya marah (terhadap sesuatu),” katanya berfilosofi.
Pernah terjadi, tempat pertunjukan didemo oleh sebuah organisasi masyarakat ketika akan mementaskan monolog tentang Tan Malaka di Bandung. Dalam situasi seperti itulah Happy menemukan dirinya tak bisa sama-sama bersikap keras. Solusi muncul ketika ia bisa membuat banyak orang paham akan maksud dan tujuan kegiatannya ini. Polisi pun akhirnya mengamankan jalannya pertunjukan, setelah Happy dan timnya menyampaikan maksud mereka kepada Walikota Bandung, Ridwan Kamil.
“Saya belajar bagaimana caranya berkomunikasi. Intinya harus fleksibel dan mau bekerja sama. Begitulah. Mungkin karena kita sedang berproses dalam berdemokrasi, jadi kita harus berstrategi,” Happy menyimpulkan.