![](https://www.pesona.co.id/img/images/hanum%20rais.jpg)
Berbusana hijab hitam, kaus lengan panjang, serta kardigan warna jingga, Hanum Salsabiela Rais, 35, tampil ederhana.
Padahal, dua film yang diangkat dari novel-novel memoarnya, “99 Cahaya di Langit Eropa” serta “Bulan Terbelah di Langit Amerika,” jadi box office dan semakin melambungkan nama Hanum dan sang suami, Rangga Almahendra.
Dalam dua novel tersebut, Hanum mengisahkan perjalanan hidupnya bersama sang suami sebagai kaum minoritas di negeri orang.
Ceritanya tentang bagaimana mereka belajar menghormati perbedaan dan menunjukkan kepada dunia arti Islam dari sisi yang berbeda—Islam yang elegan dan damai—hingga keyakinan untuk tetap menjaga aqidah meski berada di tempat dengan adat budaya yang jauh berbeda.
“Saya menerima banyak e-mail yang mengatakan bahwa setelah menonton film saya, mereka menjadi lebih percaya diri untuk mengenakan jilbab di mana pun mereka berada.
“Ada juga yang mengaku telah menjadi mualaf atau mulai memakai jilbab. Ya, saya senang pesan yang ingin saya sampaikan bisa diterima dengan baik, meski dengan media yang berbeda,” ujar Hanum dalam logat Jawa dialek Yogya yang khas.
Namun, dalam proses mentransfer novelnya menjadi film, ia sempat mengalami berbagai rintangan, mulai dari memilih PH yang mampu menerjemahkan karyanya secara utuh, hingga tekanan untuk memuaskan banyak kepala. Pengalaman yang sungguh berbeda dibandingkan ketika ia menulis novel-novelnya.
“Dalam film, kita harus mengakomodasi banyak pihak—investor, sutradara, penulis skenario, dan saya sendiri,” ujar putri Amien Rais ini.
Film “99 Cahaya di Langit Eropa” mengisahkan perjalanan Hanum menyusuri jejak-jejak peradaban Kesultanan Utsmaniyah di empat negara, yakni Austria, Prancis, Spanyol, dan Turki.
“Ada dua syarat yang saya berikan, yang tak bisa diganggu gugat. Misalnya untuk 99 Cahaya di Langit Eropa, lokasi syutingnya harus asli di empat negara yang ada di dalam buku. Syarat kedua, saya harus dilibatkan dalam penulisan skenario,” ungkapnya.
Bagi Hanum, syarat itu wajar, mengingat buku “99 Cahaya di Atas Langit Eropa” hingga saat ini telah mengalami 27 kali cetak ulang, sementara “Bulan Terbelah di Langit Amerika” sudah 17 kali cetak ulang.
“Proses pembuatan film memang sangat berbeda dengan menulis buku, namun jangan sampai penulis lepas tangan sepenuhnya. Karena, orang yang paling tahu makna, ruh, dan jiwa dari sebuah buku adalah penulisnya sendiri,” kata Hanum.
Hanum sendiri baru menulis lima buku, dan dua buku sudah dijadikan film. “Saat ini saya sedang di tahap akhir penyelesaian buku terbaru saya, Faith and The City; Hanum dan Rangga,” katanya penuh semangat.
Isinya tentang kisah perjalanan Hanum sebagai wanita karier yang multitasking, lengkap dengan konflik-konflik yang khas kaum urban. Hebatnya, meski belum benar-benar selesai, sudah ada PH yang ingin memindahkannya ke layar lebar.
Hanum menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi UGM, namun setelah lulus, ia malah meniti karier sebagai jurnalis dan presenter televisi. Tantangan terberat datang ketika sang suami memenangkan beasiswa untuk studi S-3 di Wina, Austria, padahal ia sedang senang-senangnya menjadi jurnalis.
“Waktu berangkat ke Wina, saya cuma modal nekat, karena tak punya pengalaman tinggal di luar negeri. Namun siapa sangka, di sana saya justru menemukan pengalaman hidup yang lebih berarti.”
Buku-bukunya memang lebih banyak berkisah tentang dirinya. Novel berjudul Namaku Syahraza, misalnya, berkisah tentang jatuh-bangun perjuangannya bersama suami selama 11 tahun untuk mendapatkan momongan. Syahraza Almahendra adalah nama sang putri yang kini berusia hampir satu tahun.
Baru-baru ini Hanum membangun stasiun TV sendiri di kota kelahirannya, Yogyakarta, yang ia harapkan akan menjadi media dakwah gaya baru yang bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Namun, selaris apa pun film-film yang diangkat dari buku-bukunya, “Saya tetaplah seorang penulis yang kebetulan dapat bonus bisa mengubah karya saya menjadi film. Dari sana saya juga bisa belajar menjadi penulis skenario film,” katanya.
“Bagi saya, menjadi penulis adalah profesi yang paling melegakan hati, terutama bagi perempuan dan ibu muda seperti saya. Kini saya tidak lagi terbelenggu dengan rutinitas. Saya juga bisa mencurahkan isi hati melalui tulisan.”
Foto: Dhany Indrianto
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah
Rias wajah: Ina Juntak