Rela anak kita jadi perokok? Tak hanya soal kesehatan, isu lain di balik rokok tak kalah penting.
“Tiga orang terkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok. Untuk mempertahankan keberlangsungan industri rokok, mereka mengorbankan generasi muda. Menyasar generasi muda menjadi perokok merupakan kejahatan,” demikian Dr. Ir. Bambang Widianto, MSc, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Pengendalikan Kemiskinan (TNP2K).
Dalam acara diskusi Pengendalian Tembakau: Menuju Generasi Muda Berkualitas di penghujung bulan Agustus yang diadakan oleh Center For Indonesia’s Strategic Development Inititatives (CISDI) juga hadir Prof. Dr. Nila F. Moeloek, Sp.M (K).
“Laki-laki usia 15-19 tahun 57,3 persennya adalah perokok, sementara perempuan usia itu sebanyak 29,2 persen adalah perokok,” ungkap Nila. Tentu saja hal itu menjadi tantangan bagi bonus demografi. Menurut Nila, peningkatan perokok usia muda menjadi bencana demografi.
Kondisi yang memprihatinkan, karena generasi muda kita yang memiliki masa depan bukanlah generasi muda yang sehat. Tidak seharusnya mereka terpapar racun sejak usia dini. Namun isu pembatasan tembakau bukan semata urusan kesehatan. Menurut Bambang, komoditas rokok memberi sumbangan terbesar terhadap kemiskinan, nomor dua setelah beras. Pekerja rokok ternyata juga memiliki penghasilan paling kecil dibanding pekerja di sektor lain. Implikasinya terhadap kemiskinan sangat krusial.
Indonesia merupakan negara terbesar nomor 5 di dunia penghasil tembakau, tapi ironisnya, “Empat puluh lima persen tembakau masih impor. Jadi jangan terlalu khawatir kalau harga rokok naik,” ujar Bambang. Kenaikan harga rokok tidak akan menyusahkan petani tembakau kita. Industri rokok juga tidak menguntungkan petani. Malahan beban pemerintah semakin berat akibat penyakit yang ditimbulkan oleh rokok karena meningkatnya penyakit kronis tidak menular.
Andreas Harsono, peneliti, yang juga hadir sebagai panelis membuka fakta tentang anak-anak yang bekerja di perkebunan tembakau. Indonesia memiliki empat wilayah penghasil tembakau, namun yang terbesar berada di Jawa Timur. Pekerjanya sebagian besar adalah anak-anak mulai umur 10 tahun. Mereka bekerja mulai dari pagi, mulai menyiram, memetik daun, hingga menggulung daun tembakau.
Penyemprotan pestisida dilakukan oleh anak yang lebih besar, berusia antara 17-18 tahun. Mereka berkata, bekerja di kebun tembakau sangat melelahkan, membuat tangan mereka menghitam dan terasa pahit. Selain itu timbul rasa mulas, mual, sesak napas, pusing, sakit kepala, muntah-muntah dan batuk. Bahkan ada yang dirawat di rumah sakit hingga empat hari. Mereka tidak hanya terpapar nikotin, tetapi juga pestisida sejak masih sangat muda.
Pengendalian tembakau di Indonesia sudah semakin mendesak, dan sebaiknya menjadi usaha bersama masyarakat dan merupakan tanggung jawab lintas sektor. Diah Saminarsih, Staf ahli Kementerian Kesehatan RI dan pendiri CISDI mengatakan bahwa pengendalian tembakau harus dilakukan secara integratis dan holistis, lintas sektor dan oleh semua pemangku kepentingan pembangunan nasional.
Tak rela, kan, anak kita jadi perokok....
[Baca berbagai alasan untuk tidak semobil dengan orang yang merokok]