Dalam waktu tiga bulan, kita punya dua film tentang cinta anak SMA yang bertolak belakang, namun sama-sama bagus.
Yang pertama adalah film "Posesif" yang dirilis akhir Oktober 2017. Film yang ditulis Gina S. Noer dan disutradarai oleh Edwin ini memamerkan akting prima Putri Marino dan Adipati Dolken. Ceritanya kompleks namun digarap mulus; tak heran jika ia memborong tiga Piala Citra 2017.
Tiga bulan kemudian, di akhir Januari 2018, dirilislah "Dilan 1990," adaptasi dari buku laris berjudul sama karangan Pidi Baiq yang terbit tahun 2014. Bersama Fajar Bustomi, Pidi menjadi sutradara. Pidi juga menulis skenario film ini bersama Titien Wattimena.
"Dilan 1990" lalu menjadi fenomena baru film Indonesia. Bukan karena dalam 10 hari ia berhasil menggaet 3 juta penonton ("Warkop DKI Reborn: Jangkrik Part 1" dalam 9 hari meraup 3,7 juta penonton), atau berhasil bikin viral dengan kalimat-kalimat romantisnya.
Ia menjadi fenomena karena inilah film yang membuat penonton lintas generasi merasa memiliki.
Anak 90-an merasa sedang menyaksikan 'dokumenter' masa SMA mereka (terutama anak SMA negeri, sih, he he). The Millennials membanding-bandingkan film ini dengan buku favorit mereka itu. Sementara Kids Jaman Now merasa perlu menonton film ini karena Iqbaal Ramadhan adalah idola mereka semasa jadi personel CJR.
Tanpa kita, termasuk saya, sadari, kita menjadi 'agen promosi' film ini, karena kita ingin berbagi senangnya senyum-senyum sendiri saat menontonnya. Inilah film ringan (asli, ceritanya ringan banget) yang mengena. Kita juga rela 'digombalin' Dilan, beda tipis ketika dulu terbuai kalimat-kalimat yang diucapkan Rangga dalam "Ada Apa dengan Cinta?"
Film ini bercerita tentang Dilan (Iqbaal Ramadhan), anak kelas 2 Fisika SMA di daerah Buah Batu, Bandung, yang pdkt pada Milea (Vanesha Prescilla), anak kelas 2 Biologi pindahan dari Jakarta. Dilan si anak motor ini berhasil meluluhkan hati Milea dengan kalimat-kalimat romantisnya, bikin Milea tak sabar menunggu dering telepon rumah.
Dan penonton pun tersipu-sipu, senyum-senyum sendiri mengenang momen-momen yang mungkin beda tipis dengan yang mereka alami. Momen ketika surat cinta jadi penting berhubung belum bisa SMS, boro-boro WA. Atau, ketika ngobrol berlama-lama di telepon atau di telepon umum itu acara wajib saat pacaran.
Kita tak bicara soal kesempurnaan detail sinematik (mengutip komentar teman saya), yang tampaknya sangat diperhatikan oleh penonton anak 90-an, he he (sayang... banget film ini tidak punya soundtrack berkesan).
Kenapa Ira Wibowo (pemeran ibu Dilan) dan Happy Salma (pemeran ibu Milea) harus pakai wig, dan baju yang lebih cocok ke era 70-an dan 80-an, hi hi. Saya juga melihat chemistry Vanesha dengan Ira jauh lebih terasa dibandingkan dengan Happy Salma, he he.
Di luar itu, salut kepada skenario yang simpel dan cair. Salut juga kepada casting Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan.
Meski awalnya sempat diwarnai protes pencinta bukunya, Iqbaal sukses menjelma menjadi Dilan yang jago ngegombal, suka bercanda, tapi juga tak takut berantem. Ia mungkin saja seperti Daniel Radcliffe dan karakter Harry Potter; mengubah imajinasi pembaca buku mengikuti film.
"Dilan 1990" adalah trilogi. Buku keduanya, "Dilan 1991," segera menyusul di layar lebar. Semoga sekuelnya ini bisa memberikan perasaan manis yang sama, ketika penonton lintas generasi pulang membawa kenangan mereka masing-masing....
Foto: Max Pictures/Falcon Pictures