Kamis, 10 Maret 2016, jam 08.00
Ketika itu matahari belumlah meninggi, namun tangan-tangan para petani telah begerak cepat: Memilah, memilih, memanen. Satu persatu tanaman, termasuk saya dan Bayam Hijau, masuk ke dalam keranjang.
Kami lantas diangkut menuju sebuah kolam dengan air yang bening dan byurrr… Air itu betul-betul dingin dan menyegarkan. Dengan satu-dua kali usapan, badan kami pun bersih seketika.
Pertanian tempat saya dan Bayam Hijau lahir dan tumbuh terletak di kawasan Sindanglaya, Cipanas, Bogor. Luasnya 6000 m2, dan ia diisi berbagai macam tanaman. Sebut saja, selada, pokcay, timun Jepang, hingga kubis. Kami hidup bahagia karena Yayasan Usaha Mulia (YUM), sang pemilik tanah, menerapkan konsep pertanian organik.
YUM sendiri merupakan organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Ia berdiri pada 1976, dan mulai bergerak di pertanian organik pada 2009 silam. Samsul Maarif, Project Manager YUM Cipanas, bilang, “Ini salah satu cara meningkatkan kapabilitas petani dan masyarakat lokal, juga upaya membuat kami lebih sustainable.”
Sejujurnya, prinsip farm-to-table tidak mensyaratkan sebuah pertanian yang menjadi pemasok bahan pangan menerapkan konsep organik. Penekanannya lebih kepada tiga hal: sourcing bahan lokal, dari petani lokal, dan dari lokasi yang sedekat mungkin dengan end user (bisa restoran, bisa Anda sendiri).
Jadi, seseorang yang tinggal di Papua dan mengambil bayam dari Australia, misalnya, tetap tak bisa disebut farm-to-table, meski jaraknya lebih dekat ketimbang mengambil dari Sumatra. Intinya, semua soal pemberdayaan sesuatu yang lokal. Dan ketika yang lokal itu kebetulan organik (seperti rumah saya!), anggap itu sebagai bonus.
Aktivitas pertanian YUM digawangi oleh Oleh, S.P (Ya, namanya memang singkat, jelas dan padat). Kang Oleh, begitu kami mengenalnya, adalah seseorang bertubuh gempal dan bertutur kata halus, khas orang Sunda. Darah tani menurun dari orang tuanya yang petani buah.Anak-anak petani didorong masuk kota, cari kerja kantoran. Hal itu disebabkan karena bertani tak lagi dipandang seksi dan 'aman' bagi masa depan.
Setelah lulus dari Universitas Winayamukti di Sumedang, Kang Oleh sempat magang selama setahun di sebuah pertanian di Ibaraki, Jepang. Tak heran pengetahuannya begitu luas.
Kami senang ditangani oleh Kang Oleh. Ia mengasuh saya dan Bayam Hijau dengan sepenuh hati, di tengah situasi di mana profesi petani tak lagi diminati. Kang Oleh pernah curhat, “Sekarang ini jarang yang mau jadi petani. Mungkin karena, kalau ketemu orang baru (baca: Wanita!), rasanya kurang menguntungkan kalau mengaku petani.”
Ah, tapi gejala itu memang sudah lama terasa. Ifan Martino, Perencana dari Direktorat Pangan dan Pertanian, Badan Perencana dan Pembangunan Nasional, bilang bahwa “Kini ada 24 juta keluarga tani di Indonesia, menurun dari sensus sebelumnya yang sebanyak 26 juta. Dan mayoritas petani sekarang berusia tua.”
Tren global pun serupa. Jumlah petani, khususnya petani muda, terus menurun. Anak-anak petani didorong masuk kota, cari kerja kantoran. Hal itu disebabkan karena bertani tak lagi dipandang seksi dan 'aman' bagi masa depan. Wah, apa jadinya masa depan kami kalau semua orang pindah ke kota?