Kalau menjalankan apa yang kita cintai rasanya pasti menyenangkan. Keseharian Esterlyta Pandjaitan (Lyta) menjadi salah satu bukti nyata, bahkan ketika siang itu sinar matahari di Bogor sangat terik.
Walau berada di ruangan tak ber-AC, sepertinya Lyta tak berkeberatan. Ia asyik beraksi di dapur untuk mengolah keju dan sabun. Yang membuatnya jadi spesial, sabun dan keju buatan Lyta terbuat dari susu kambing. “Yah, kalau di sini kehidupannya seperti main masak-masakan, deh! Ha ha ha!” ujar Lyta, tertawa. Ruangan itu tak ber-AC karena keju dan sabun tidak bisa diolah pada suhu dingin.
Sejak tahun 2012, Lyta mengolah sabun dan keju secara rumahan. Produknya dijual dengan merek Moloka Farm Living. Moloka sendiri berarti susu dalam Bahasa Rusia.
Butuh dua jam perjalanan dari Jakarta hingga sampai ke workshop Lyta di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. Workshop itu terletak di sebuah rumah seluas 170 meter persegi dengan dua dapur. Satu dapur untuk mengolah sabun, dan satu lagi untuk mengolah keju.
Sejauh pengamatan saya, dapur di workshop Lyta tampak seperti dapur rumah tangga pada umumnya. Ada cetakan kue, panci, oven, lemari es, dan kompor, yang semuanya tertata rapi.
Siang itu Lyta sedang menyiapkan keju feta untuk dibumbui. Tangan cekatan Lyta dengan cepat memotong sebongkah besar keju feta. Setelah dipotong dadu kecil-kecil, keju dimasukkan ke dalam stoples kaca, kemudian dibiarkan berenang dalam minyak zaitun, daun timi, rosemary, juga bawang putih.
Penasaran, saya mencoba racikan Lyta bersama roti bakar bertekstur renyah—keju ini tak terasa amis sama sekali. Rasanya gurih seperti keju dari susu sapi yang biasa saya makan. Teksturnya cukup padat, namun berubah lumer begitu menyentuh lidah.
“Tantangannya, bagaimana saya mengolah supaya bau kambing ini hilang. Makanya, saya kasih bumbu dan segala macam,” jelas Lyta. Untuk menemukan resep keju yang pas, Lyta dibantu oleh sang kakak—Rotua Juliana—yang menjadi Co-Founder Moloka Farm Living. Berjarak 1,5 kilometer dari workshop, terhampar peternakan milik ayahnya yang sudah berdiri sejak tahun 1980.
Kesadaran Lyta akan gaya hidup kembali ke alam muncul setelah ia mengamati rutinitas di peternakan. Mereka sering mendapat bibit gratis yang dibagikan oleh partai-partai saat masa kampanye pemilu. Pernah mereka mendapat bibit singkong raksasa produk GMO atau dikenal sebagai persilangan genetik. Setelah panen, ukuran singkongnya begitu besar, bahkan mencapai seukuran paha manusia!
Awalnya, Lyta sekeluarga senang dengan hasilnya. Namun setelah dua kali panen, singkong tak mau lagi tumbuh. Setelah itu tanah yang dipakai menanam singkong raksasa pun tidak lagi bisa ditanami tumbuhan lain.
“Tanah kami sampai rusak. Apa pun yang ditanam tidak berbuah,” kata lulusan University of Arizona jurusan Teknis Industri ini. Mulai dari situ, Lyta ingin membuat sesuatu yang sifatnya alami. “Saya ingin bikin sesuatu nggak usah dianeh-anehin. Lebih ke alam. Yang normal-normal saja.”
Jalan itu pun datang ketika mendengar sang ayah membeli 100 kambing Ettawa pada tahun 2000. Di lahan seluas tujuh hektar itu terdapat peternakan ayam dan kolam untuk budidaya ikan gurame dan lele. Ayah Lyta berprofesi sebagai PNS, dan setelah pensiun ia melanjutkan hobinya bercocok tanam dan beternak.
Selama beternak kambing, 75% dari hasil susunya hanya mereka pasok ke pabrik keju. Namun Lyta kecewa karena harga susu yang ditetapkan pabrik tak seimbang dengan ongkos produksi.
“Terus terang, harganya sangat tidak pantas. Ini harusnya produk premium ya, kok, dijual murah amat, sih? Lalu saya berpikir, bisa dibuat jadi apa ya susu kambing ini?” kisah Lyta. Padahal saat Lyta di Kanada untuk mengambil sertifikasi di bidang project management pada 2010, ia melihat berbagai produk dari susu kambing dihargai mahal.
Dari segi khasiat, Lyta tahu bahwa susu kambing punya nilai yang tinggi. Susu kambing lebih mudah dicerna di dalam perut sehingga lebih cocok bagi mereka yang mengalami lactose intolerant.
“Sebenarnya kelebihannya susu kambing itu, dia punya butiran protein yang kecil. Jadi mudah dicerna usus. Susu sapi membutuhkan delapan hingga sekian belas jam untuk diproses. Nah, kambing bisa dicerna dalam tiga hingga lima jam,” ungkap Lyta.
Makanya susu kambing segar yang dijual Moloka laris dibeli oleh ibu yang ingin bayinya melanjutkan minum susu kambing setelah lepas ASI. Selain itu, susu kambing masih bebas dari suntikan hormon, tidak seperti sapi yang sudah masuk ke industri komersial.