
Ermy Kullit, penyanyi jazz senior berusia 62 tahun ini bicara soal geliat musik di Tanah Air dan seretnya regenerasi penyanyi jazz solo.
Bagi saya, menyanyi jazz punya tantangan tersendiri, terutama karena harus dilakukan dengan sepenuh hati, inside-out. Dibutuhkan penjiwaan yang dalam. Musik jazz juga tidak statis, harus terus bergerak dan berimprovisasi.
Seorang penyanyi jazz juga dituntut untuk benar-benar berkolaborasi dengan musisi pengiringnya. Penyanyi jazz tidak bisa begitu saja ‘ditembak’, disuruh nyanyi dadakan dengan band pengiring yang dia tak pernah latihan sebelumnya. Namun, bagi saya, justru di situlah daya tarik utama menjadi penyanyi jazz.
Tapi, sebenarnya saya memulai karier sebagai penyanyi pop. Sejak duduk di SMP di Manado, saya sudah menyanyi di panggung, sebagai salah satu vokalis tetap band tentara bernama Nada Yudha. Pemain musiknya om-om tentara semua, dari Batalyon 712. Setamat SMA, saya nekat ke Jakarta sendirian untuk mengembangkan karier menyanyi.
Di Jakarta, saya diterima menyanyi di pub Hotel Marcopolo. Di sana saya bertemu banyak penyanyi Ibu Kota yang sudah terkenal, seperti Melky Goeslaw. Deddy Damhudi, Ivo Nilakrishna, Christine Sukandar. Sebagai anak bawang, saya belajar banyak dari mereka.
Sebagai penyanyi pub, saya dituntut untuk menguasai segala macam jenis musik: pop, waltz, cha-cha, jazz, blues. Saya ingat, waktu itu saya sudah mengidolakan Ella Fitzgerald dan Sarah Vaughan, dua diva jazz Amerika yang suaranya keren banget.
Ketika mendapat tawaran kontrak menyanyi di klub Tropicana di Singapura, tanpa pikir dua kali, langsung saya terima. Padahal, saya tak kenal seorang pun di sana dan Bahasa Inggris saya masih pas-pasan. Pokoknya cuma modal nekat, dan nyatanya saya berhasil survive.
Setelah dua tahun manggung di pub-pub di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok, saya kembali ke Indonesia pada 1981, dan berkenalan dengan (almarhum) Ireng Maulana, musisi jazz yang saat itu sedang giat memperkenalkan musik jazz ke masyarakat luas. Ireng menilai suara saya yang berat sangat cocok untuk menyanyikan lagu-lagu berirama jazzy atau bossas.
Namun, teknik menyanyi saya dianggap masih berantakan. Misalnya, saya masih menggunakan vibrasi penuh, padahal kalau menyanyi lagu berirama jazz, vibrasi cukup digunakan seperlunya saja, tapi pada saat-saat yang tepat. Saat manggung bersama Ireng, saya kerap menyanyikan lagu-lagu Salena Jones. Mungkin karena itu saya dijuluki Salena Jones-nya Indonesia. Lumayan.
Sejak itu saya banyak berkolaborasi dengan musisi-musisi jazz muda yang namanya sedang naik daun, seperti Indra Lesmana, Chandra Darusman, Billy Boediarjo, Fariz RM. Beberapa lagu yang diciptakan khusus untuk saya berhasil menjadi hit dan legendaris sampai sekarang, seperti Kasih dan Pasrah. Bahkan sampai sekarang pun, setiap kali saya diundang manggung, saya ‘diwajibkan’ menyanyikan dua lagu itu, padahal saya bosan luar biasa, ha ha ha.…
Sebenarnya, Ireng juga mengorbitkan banyak penyanyi lain, antara lain Harvey Malaiholo dan Rafika Duri. Tapi mereka tak lama bertahan. Mungkin karena menjadi penyanyi jazz dan album jazz tidak bisa sekormersial pop atau dangdut.
Lantas, mengapa saya bisa bertahan sampai sekarang? Mungkin karena saya memang mencintai jazz sampai ke hati. Mungkin juga karena Tuhan sayang sama saya.
Saya senang kini makin banyak festival jazz diselenggarakan di berbagai kota, bukan cuma di Jakarta. Begitu juga grup-grup jazz yang terus bermunculan. Tapi, untuk penyanyi jazz solo, tampaknya regenerasi agak seret.
Mungkin karena penyanyi jazz harus punya band pengiring sendiri. Meskipun sekarang saya tidak bisa lagi jualan album (toko-toko musik sudah bangkrut), Alhamdulillah, tawaran manggung masih lancar.
Foto: Dhany Indrianto
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Lokasi: Djule Kofi, Jakarta Selatan