Dengan karyanya muncul di televisi dan media cetak saja sudah sangat berpengaruh dalam promosi perhiasannya. Namun sekarang berbeda lagi. Kita diserang dengan banyak informasi, contohnya saja dari media sosial Instagram. Sisi negatifnya, karena terlalu banyak informasi yang kita terima, dengan mudahnya kita melupakan informasi tersebut.
“Saya terbantu banget dengan arus informasi zaman dulu yang belum seramai sekarang. Tapi kalau sekarang, orang lihat sesuatu yang lucu di Instagram dengan mudahnya akan cepat lupa,” ujar Eliz.
Begitu banyak saingan di industri aksesori, terutama costume jewelry membuat Eliz senantiasa harus cepat mengikuti perubahan. Ia selalu melihat tren perhiasan yang sedang hits di dunia. Walau demikian, Eliz mengakui bahwa tak semua tren dunia cocok dengan Indonesia—misalnya seperti tasel.
“Di Indonesia itu nggak laku. Tasel itu nggak ada yang beli. Saya sampai heran. Karyawan saya sampai bilang, ‘Iya Bu, justru ada yang beli tapi minta taselnya digunting, ha ha ha,” cerita Eliz, heran. Hingga saat ini, ia masih selalu melakukan uji coba untuk menebak minat para customer.
Salah satu yang menjadi rahasia Eliz tetap bertahan adalah konsistensinya dalam mempertahankan kualitas. Hal ini juga yang membuat aksesorinya laris manis di pasar luar negeri. Dari tahun 2006 hingga sekarang, Eliz memasok perhiasannya ke Jepang. Perhiasannya malah sempat dipajang di butik perhiasan eksklusif bernama Veritas yang berlokasi di Jepang.
“Tokonya sempat ada di Tokyo Station, Omotesando, Roppongi Hills, dan Shinjuku,” kata Eliz. Namun sayangnya karena ekonomi Jepang sedang tidak stabil, kerja sama dengan Veritas pun terputus pada 2009.
Diakui Eliz, pasar Jepang memang sulit untuk dipuaskan. Mereka sangat teliti dan memerhatikan detail. “Mereka itu bisa sadar kalau ada sedikit perbedaan panjang, walau hanya satu milimeter. Di situ kita belajar banyak. Istilahnya, kayak sekolahannyalah. Jadi begitu di Jepang oke, ke Amerika dan ke Eropa nggak pernah ada masalah,” ungkap Eliz.
Di balik kesuksesannya mengekspor aksesori, Eliz punya kisah unik. Dulu ketika pertama kali membuat untuk pasar Jepang, ia tak tahu kalau mereka seteliti itu. Ketika ada manik-manik warna merah yang habis, Eliz menggantinya dengan manik-manik warna oranye.
“Begitu (barang) datang, mereka bilang, ‘Nggak bisa, ini harus diganti! Akhirnya ya sampai besoknya kami sibuk mengganti manik-maniknya,” kata Eliz. Ketika itu, Eliz malah harus sampai membuat rumus tiap lilitan untuk merangkai perhiasannya, tujuannya agar para karyawannya bisa meniru apa yang ia lakukan dengan persis.
Ketelitian dengan standar tinggi itu yang sampai kini masih dipertahankan Eliz, baik untuk pasar lokal maupun internasional.
Selain Jepang, Eliz sempat memasok aksesorinya ke Singapura dan Amerika Serikat. Misalnya, pusat perbelanjaan Robinson di Singapura dari tahun 2012 hingga 2013. Label fashion asal Amerika Serikat Anthropologie juga sempat memesan aksesori kepadanya dari 2008 hingga 2010. Ia juga pernah memasukkan perhiasan ke TJ Maxx—department store di Amerika Serikat—dari tahun 2012 hingga 2014.
Hingga kini, Eliz masih menggunakan bahan-bahan dari luar negeri—antara lain dari Jepang, Thailand, dan Cina. Bukannya ia tak mau memakai produk buatan Indonesia, melainkan karena apa yang ia cari bagi keperluannya tidak bisa ia temui di pasar dalam negeri.
“Kawatnya saya ambil dari Amerika Serikat. Kawat itu, kan, bersentuhan langsung dengan kulit. Jangan sampai melukai kulit,” ungkap Eliz. Ia memilih bahan-bahan yang teruji aman, halus, dan berkualitas tinggi. Pita-pitanya saja masih ia impor karena pita-pita buatan Indonesia kebanyakan bahannya keras dan mengilat.
Begitu juga dengan mutiara. Ia mengambil mutiara asli dari Thailand dan Cina. Alasannya karena mutiara dari Sumba sangat mahal harganya. Padahal, Eliz ingin produknya bisa dijangkau oleh berbagai kalangan. “Mutiara Sumba itu sangat mahal. Dia lebih bagus dipasangkan dengan emas,” kata Eliz, yang belum berminat untuk membuat perhiasan dari emas.
Untuk mencipta aksesorinya, sebagaimana seniman, Eliz mengandalkan feeling. Biasanya ia selalu memesan bahan terlebih dulu, jauh sebelum ia merancang aksesori apa yang ingin dibuat. Ia hanya mengandalkan rasa dalam memilih material yang nantinya akan berguna bagi kreasinya.
“Kayak orang masak aja—masukin bahannya ke sini atau ke sini. Kadang-kadang kita coba. Kalau nggak bagus ya kita ganti,” ujar wanita 43 tahun ini. Eliz malah biasanya tak pernah menggambar ketika mendesain aksesorinya, kecuali untuk kebutuhan desain aksesori untuk pengantin.
Karena kecintaannya mencipta aksesori, Eliz tak mudah menyerah saat bisnis tengah lesu. “Kadang saya terpikir lagi. Dulu saya melakukan ini tidak untuk uang. Jadi ketika saya tidak dapat uangnya, kenapa saya jadi kepikiran? Dulu saya melakukannya bukan karena uang, tapi karena cinta. Dan saya percaya kalau orang memang senang dengan aksesori ini, pasti mereka akan datang,” kata Eliz, optimis.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Nanda Djohan