Di bawah nama besar Anne Avantie, Intan Avantie tak ragu menapaki bidang yang sama dengan ibundanya. Brand Inav by Intan Avantie dijadikan second line dari brand Anne Avantie
Intan kecil gemar berkarya. Saat SD, ia pulang paling akhir di antara anak-anak lain. Gelang dan kalung unik yang dibuat dari kabel warna-warni dijualnya. Semakin bertambah umur, bakatnya makin terlihat. Mulai kelas 5 SD, ia mulai membuat kostum tari, paduan suara, dan mayoret. Waktu SMP, kakak kelas yang duduk di kelas 3 memintanya untuk membuatkan baju perpisahan. Intan pun menyanggupi.
Masa SMA dijalaninya setengah hati. Baru setahun, Intan sudah tak betah. Ia lebih senang menyalurkan bakatnya mendesain pakaian. “Waktu itu kacau-balau, nilai berantakan, nggak karu-karuan. Bunda nggak marah, tapi Bunda bilang, ‘Oke, mau ke mana, nih? Kalau nggak suka sekolah, mau ngapain?” kisah Intan.
Intan akhirnya memutuskan masuk SMK, dan ia pun pindah ke Magelang. Saat duduk di kelas 3, ia memenangkan lomba Gading Young Designer Award 2004 di Jakarta. Gelar juara pun disandangnya, dan ia diganjar dengan beasiswa setahun di ESMOD. Jika tak langsung diambil, beasiswa akan hangus. Dengan berbagai pertimbangan, sang ibu mengizinkan Intan mengambilnya, walau artinya Intan harus meninggalkan bangku SMK.
Dalam diri Intan, mengalir darah seni yang kuat. Ia adalah Intan Avantie, putri sulung desainer kebaya Anne Avantie. Di bawah nama besar sang ibu, Intan tak ragu menjalani karier yang sama. Sebagai ibu, Anne tidak mengarahkan Intan untuk ikut terjun sebagai desainer. Keinginan Intan hadir dengan sendirinya. “Dia tahu karena dia bersama saya. Dia tahu kapan saya menangis, kapan saya tertawa. Saya menghidupi keluarga dengan hasil industri fashion ini. Saya bisa memberi makan, bisa menyekolahkan, dan bisa memberikan nafkah. Itu menjadi gambaran buat dia,” cerita Anne.
Sebelum menjadi desainer kebaya, Intan pernah mencoba membuat gaun dan baju-baju kasual. Tapi itu semua membuatnya bosan. Berbeda dari kebaya yang membuat Intan selalu ingin berkreasi. “Saya selalu ingin melakukan ini terus-menerus. Orang selalu bilang, ‘Ah Intan ikut-ikut ibunya’, tapi buat saya itu bukan halangan. Beliau, kan, ibu saya. Nggak masalah,” ungkap Intan.
Menjadi anak seorang Anne Avantie bukan berarti Intan bergelimang fasilitas. Intan mencoba merintis kariernya sendiri. Selama 11 tahun berkarier, empat tahun ia jalani di garasi rumahnya sebagai kantor. Baru di tahun kelima, ia bisa menempati sebuah ruko di Semarang sebagai butik. Diakui Intan, ia tak tega meminta segala hal bersifat materi kepada ibunya. Ia tahu betapa sulit usaha sang ibu merintis karier. Yang Intan tahu, sebelum Anne dikenal sebagai desainer papan atas, Anne pernah bekerja sangat keras. Mulai dari jualan manisan mangga hingga menjadi SPG produk kosmetik.
Satu kejadian masih melekat di benak Intan. Saat ia kecil, ibunya yang baru pulang dari luar kota membawakan boneka. Setelah dicari, boneka itu ternyata tertinggal di kereta api. Sangat menyesal, Anne sampai menangis. “Kalau ingat itu, saya jadi nggak tega mau minta sama Bunda,” kenang Intan.
Terkait karier Intan sebagai desainer, sedari awal Intan dan Anne sudah menyatukan visi dan misi. Brand Inav by Intan Avantie dijadikan second line dari brand Anne Avantie. Itu artinya, harga kebaya buatan Intan berada di bawah kebaya rancangan Anne. Bahan-bahannya pun dibedakan. Jika Anne Avantie memakai seluruh kain yang eksklusif, Intan menggunakan campuran bahan eksklusif dan bahan sekelas di bawahnya.
Sebagai putri dari Anne Avantie, Intan setuju bahwa dirinya akan melestarikan kebaya khas ibunya. Tapi ia tak setuju jika dibilang sebagai The Next Anne Avantie. “Bunda itu nggak tergantikan. She’s the one and only,” kata Intan, yang juga sibuk mengajar sebagai guru tata busana di beberapa SMK di Jawa Tengah.
[Baca juga kisah ibu-anak Ratih Sang dan Dhianya Nuasgini Zen di sini]
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Erin Metasari