Dewi Yull, penyanyi dan aktris berusia 57 tahun, bicara tentang perjalanan panjang karier dan hidupnya.
Selama ini saya dikenal sebagai penyanyi pop yang feminin. Padahal sebetulnya saya berjiwa maskulin. Mungkin banyak yang tak menyadari bahwa saya pernah rekaman album rock dengan lagu andalan Terus Berlari. Lagu itu sering dinyanyikan Nicky Astria, sehingga banyak yang menganggap itu lagunya Nicky.
Selera maskulin saya bukan hanya di musik. Saya juga pernah punya SIM (Surat Izin Mengemudi) B1—untuk kategori bus atau mobil barang perseorangan. Mobil yang saya sukai jenis jip yang gagah. Tetapi saya berhenti bawa mobil sendiri sejak melahirkan anak ketiga.
Di rumah, saya menyanyi hanya kalau perlu menghafal lagu untuk manggung. Kalau berlatih, saya tidak pernah menyanyikan lagu-lagu saya sendiri. Saya juga tidak pernah menyimpan album-album saya. Saya lebih suka menyanyikan lagu-lagu tahun 50-an, khususnya yang dinyanyikan Brenda Lee.
Saya bersyukur di usia sekarang ini, saya masih terus manggung dan menghibur banyak orang. Padahal, saya mulai menyanyi sejak usia lima tahun. Di usia 9 tahun saya sudah menjuarai lomba menyanyi tingkat Jawa Barat, lalu mewakili Jawa Barat ke tingkat nasional.
Dua kali saya berkompetisi dengan Hetty Koes Endang di panggung, dan dua-duanya saya kalah. Meskipun begitu, pengalaman itu jadi bekal saya sampai sekarang. Menjadi penyanyi di zaman dulu yang lebih ditonjolkan adalah prestasi, bukan penampilan fisik atau sensasi. Itu berat dan perjalanannya panjang.
Ibu saya adalah orang yang paling berjasa dalam karier menyanyi saya. Beliau yang mengantar saya menyanyi ke mana-mana, baik di hajatan-hajatan di Cirebon maupun ke festival-festival di Jakarta. Kebetulan Ibu juga bisa mendesain baju.
Saya selalu dibuatkan baju yang feminin saat manggung. Mungkin karena sewaktu kecil saya tomboi, suka memanjat pohon, berkelahi, dan tidak suka berdandan.
Sebetulnya, di usia 12 tahun saya sudah mulai main film, “Bawang Putih,” sebagai pemeran pendukung. Pemeran utamanya (alm) Broery Marantika, yang tanpa saya duga, berpuluh tahun kemudian menjadi teman duet saya.
Tetapi nama saya baru melejit setelah main dalam serial TVRI berjudul “Losmen” yang sangat terkenal di zamannya. Serial itulah yang mengasah kemampuan akting saya karena sutradara dan penulis skenarionya dosen IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Ironisnya, masyarakat luas tahu saya bisa menyanyi setelah saya berperan di serial “Dokter Sartika.” Saya dianggap sebagai aktris yang bisa menyanyi, padahal sebaliknya, saya penyanyi yang belajar akting.
Setelah rekaman album rock, saya beralih rekaman album beraliran bossanova arahan Ireng Maulana. Baru pada tahun 1994 saya meluncurkan album pop dengan lagu hit Kau Bukan Dirimu, yang meledak dan terjual sampai 1,5 juta kopi.
Saya justru baru diapresiasi sebagai penyanyi dengan lagu yang menurut saya sangat sederhana. Lagu yang feminin, bertentangan dengan jiwa saya yang maskulin.
Namun, ada untungnya juga saya berjiwa maskulin. Saya jadi lebih kuat menjalani cobaan hidup. Saya telah melewati masa-masa berat—harus membayar utang selama tujuh tahun setelah perusahaan kami bangkrut, dikhianati suami sehingga harus bercerai, dan kehilangan putri sulung saya, Giszka Putri, yang wafat di tahun 2010.
Namun, sekalipun dalam kondisi ekonomi minus, saya bukan tipe orang yang bisa ‘dibeli’. Ayah saya yang banyak harta saja bisa saya tinggalkan, apalagi lelaki yang mau jadi pahlawan kesiangan. Saya butuh teman hidup, bukan lagi pasangan yang bicara asmara seperti anak muda. Dan itu saya temukan pada suami saya sekarang.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Nanda Djohan