
Sejak tahun 2014, ia terjun ke politik dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai politisi, pencapaian apa yang ingin diraih oleh wanita yang pernah terkenal dengan julukan “Miss No Comment” ini?
“Kegiatan saya sekarang nggak banyak, kok: Ke kantor, mendatangi konstituen, sesekali jadi pembicara seminar, dan ngurus anak. Tapi segitu saja sudah lebih dari cukup dan hampir menyita seluruh waktu saya,” jawab Desy ketika ditanya tentang kegiatannya belakangan ini.
Kantor yang ia maksud tentunya gedung DPR. Ia terpilih menjadi anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) untuk masa jabatan 2014-2019, mewakili daerah pemilihan Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi).
Di DPR ia bertugas di Komisi VIII yang membidangi keagamaan, sosial, bencana, dan pemberdayaan perempuan dan penyandang disabilitas. “Pokoknya, komisi kami komisi air mata,” katanya, tertawa.
Kini, dalam sebulan, ia bisa dua kali datang ke Sukabumi selama beberapa hari untuk menyambangi langsung para konstituennya, termasuk yang tinggal di pelosok. “Ternyata di Sukabumi yang letaknya tak jauh dari Pusat, fasilitas infrastrukturnya masih banyak yang menyedihkan.
“Dan meskipun sekarang sekolah (negeri) sudah gratis untuk pendidikan dasar sembilan tahun, nyatanya masih banyak anak-anak yang tidak atau putus sekolah, karena kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan,” katanya, serius.
Ia merasa terhormat bisa terlibat dalam pembuatan dan penggodogan RUU tentang disabilitas. “Masih banyak penyandang disabilitas di Indonesia yang terabaikan. Bahkan di desa-desa di Sukabumi, masih banyak para penderita penyakit jiwa—termasuk kaum difabel—yang dipasung,” cerita Desy yang selalu menyarankan agar wanita memiliki kemandirian, baik secara ekonomi maupun sebagai pribadi.
“Wanita juga harus pintar. Kalau seorang ibu berpendidikan cukup dan berwawasan luas, seperti itu pula dia akan mendidik anak-anaknya.”
Konstituennya pun tentunya tak kalah gembira bisa bertemu langsung dengan wakil mereka, yang juga artis kesayangan mereka. “Biasanya pasti ada acara foto bareng dan selfie-selfie di akhir acara,” kata Desy, tertawa. “Tapi yang paling senang adalah ibu saya. Soalnya sekarang saya jadi sering ke Sukabumi dan sekalian bisa menengok Mama.”
Namun tak jarang ia merasa sedih karena sebagai anggota legislatif, ia tidak bisa banyak membantu konstituennya. “Legislatif itu, kan, nggak pegang uang. Kita harus terjun sebagai eksekutif untuk bisa membantu langsung, misalnya membangun jembatan, jalan, sekolah, atau memberdayakan perekonomian mereka,” ujar Desy.
Apakah ini sebuah kode keras bahwa ia siap maju dalam ajang pilkada berikutnya? Sebagai Sukabumi 1 atau bahkan Jawa Barat 1? Saya mencoba memancing-mancing.
Tapi sepertinya Desy tidak terpancing. “Memang sudah cukup lama beredar wacana bahwa PAN akan menyodorkan nama saya sebagai calon Sukabumi 1 (atau 2), bahkan Jabar 1 (atau 2). Tapi itu, kan, baru wacana. Kalaupun seumpama nanti saya diminta secara resmi, rasanya untuk sekarang ini—kalau boleh—saya ingin menolak dulu.
“Saya punya anak remaja yang masih sangat membutuhkan kehadiran dan pengawasan saya. Kalau sekarang saya menjadi kepala daerah, bila terpilih, pastinya saya tak punya banyak waktu lagi untuk dia. Karena, bagi saya pribadi, prestasi tertinggi adalah menjadi ibu yang terbaik bagi anak saya,” kata Desy lagi.
Nasywa Nathania Hamzah adalah pusat hidup Desy. Remaja usia 15 tahun ini adalah putri Desy dari perkawinan keduanya dengan Sammy Hamzah. Selain oleh Desy sendiri, Nasywa diasuh oleh dua tante Desy yang tinggal bersama Desy di Jakarta.
Pola pengasuhan ini hampir sama seperti yang dialami Desy remaja dulu, yang diasuh oleh nenek dan adik-adik ibunya di Jakarta, sementara sang ibu tetap tinggal di Sukabumi. Bahkan, salah satu tante yang dulu mengasuh Desy, sekarang ikut mengasuh Nasywa.
“Jadi saya tidak perlu pusing kalau harus meninggalkan Nasywa untuk urusan pekerjaan. Saya percaya 100 persen pada tante-tante saya,” ujar Desy.
Ia mengaku mendidik anaknya dengan cara konservatif, seperti yang ia terima dulu. “Ada banyak pola pengasuhan zaman dulu yang tetap bisa diterapkan di zaman sekarang. Saya ambil yang baik-baiknya saja.”
Misalnya, ia tak mau memanjakan anaknya dengan mengabulkan dengan mudah setiap permintaan sang anak. “Kadang dia mendadak minta sesuatu, dan ngotot harus ada saat itu juga. Kalau sudah begitu, saya juga akan ngotot bilang tidak, meskipun saya bisa saja mengusahakannya. Dia harus belajar menghargai proses dan perjuangan untuk mendapatkan sesuatu,” cerita Desy, tegas.
Desy pun hanya memberi uang jajan Rp50 ribu per hari untuk anaknya. Ia memang tidak membiasakan anaknya jajan di luar. “Saya ingin dia makan di rumah,” katanya. Ia pun konsekuen dengan aturannya sendiri. “Nasywa bisa pesan makanan apa saja di rumah. Isi kulkas saya komplet. Untuk masakan Italia, biasanya saya yang masak. Sedangkan dua tante saya spesialis masakan Jepang dan Sunda.”
Ia juga belum mengizinkan putrinya menginap di rumah teman-temannya. “Rumah saya terbuka untuk teman-teman Nasywa. Lebih baik mereka yang main dan menginap di rumah kami.”