Sejak kecil Prita Kemal Gani memang bercita-cita menjadi guru.
Itu sebabnya, setelah menyelesaikan pendidikan di Filipina (Master of Business Administration di International Academy of Management & Economics, Manila), ia melamar pekerjaan sebagai dosen part-time sambil bekerja di bagian Public Relations (PR) di sebuah perusahaan swasta.
“Saya melihat banyak banget anak-anak PR yang ternyata masih tidak tahu apa-apa tentang seluk-beluk dunia PR. Itulah alasan saya membuka kursus atau traning school, namanya London School of Public Relations (LSPR) di tahun 1992 sampai 1997,” kenang Prita, Pendiri dan Direktur STIKOM London School of Public Relations.
Kursus yang menempati ruang 12 meter persegi itu memiliki program tiga bulan, enam bulan, hingga sembilan bulan. Tahun 1998, ketika krisis moneter melanda negeri ini, banyak orang tua yang menahan anaknya untuk sekolah ke luar negeri, sehingga banyak yang mendaftar ke LSPR.
“Banyak yang bilang kepada saya, kenapa tidak dibuat program dua tahun saja, seperti akademi atau sekolah tinggi? Akhirnya di tahun 1999 LSPR diberi izin menjadi Sekolah Tinggi oleh Menteri Pendidikan saat itu, Abdul Malik Fadjar. Sejak jadi Sekolah Tinggi, jumlah mahasiswa saya langsung luber, kayak buka keran saja,” kisah Prita.
Saat itu STIKOM LSPR masih belum memiliki gedung sendiri seperti sekarang. Akibatnya, lokasi LSPR sering berpindah-pindah, dari Dharmala Intiland, Gedung Dewan Pers, hingga Gedung Bimantara.
Prita merasakan sendiri repotnya memindahkan bangku, meja, dan perlengkapan penunjang seperti proyektor setiap kali pindah tempat. Hingga akhirnya, LSPR sanggup membeli gedung sendiri berupa dua ruko di kawasan Sudirman Park, Jakarta. Kini LSPR telah memiliki 22 ruko di kawasan yang sama.
Pengalaman bersekolah di London City College of Management Studies di London, dan LCCIEB Third Level Group Diploma in Public Relations, juga di London, membuat Prita ingin membawa kurikulum dari London ke Indonesia. Kurikulum yang dipakai di STIKOM LSPR berdasarkan standar yang ditetapkan London Chamber of Commerce and Industry Examinations Board. “Penggunaan nama London School juga disetujui oleh Brtisih Council Indonesia,” ungkap Prita. Setelah menjadi STIKOM, ia menambahkan kearifan lokal ke dalam kurikulum.
Meski tidak memiliki modal besar—ia membangun LSPR hanya berdua dengan suaminya, Kemal Effendi Gani—Prita bertekad melanjutkan operasional sekolah ini dengan tangannya sendiri. “Orang kalau mau sekolah, kan, harus bayar dulu. Nah, uang itu yang saya gunakan untuk bayar sewa gedung, menggaji dosen, juga bayar ujian ke London. Pada awalnya sulit sekali memutarkan uang seperti itu,” kata Prita.
Keteguhan Prita terus menjalankan operasional LSPR meski menghadapi beragam kendala membuahkan hasil. Hampir seperempat abad LSPR berdiri, ia kini berhasil menjadi sekolah yang diunggulkan oleh praktisi PR.
Mahasiswanya bukan hanya lulusan SMA, tapi juga para profesional yang ingin meningkatkan jenjang karier. Kelebihan di LSPR adalah adanya program pertukaran pelajar sehingga mereka bisa memiliki pengalaman dalam pergaulan internasional. “Sebaliknya, kami juga memiliki international student. Ada mahasiswa dari Belanda, Inggris, Amerika, dan Jerman, yang khusus datang ke Indonesia untuk belajar di LSPR,” kata Prita.
Ia juga membangun LSPR Innovation Network untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa di negara lain untuk belajar di LSPR secara online dan mendapatkan gelar sarjana strata 1. Saat ini LSPR baru saja memulai kerja sama dengan Learning Center Dubai untuk program sekolah online. Negara selanjutnya adalah Hong Kong, Myanmar, dan Taiwan. “Kami juga dipercaya membantu kurikulum PR untuk Vietnam,” kata Prita, bangga.
Bahkan Prita-lah yang menjadi inisiator terbentuknya ASEAN Public Relations Network tahun 2014. “Dulu saya belajar PR dari Barat, sekarang orang Barat juga mau belajar PR dari kita. Untuk itu, kami melakukan ASEAN PR Studies untuk mempelajari banyak hal yang terjadi di negara-negara ASEAN,” Prita menutup perbincangan.
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Tania Ledezma