Memiliki jabatan Program Manager for Information, Education and Research dan Grant Program Manager for Java, Bali and Nusatenggara Bioregion di Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati) sudah ditekuni Christine selama 10 tahun. Tapi zona nyaman itu harus ia tinggalkan.
Kelahiran Kay anak keduanya, selain memberinya kebahagiaan karena ia punya anak sepasang perempuan dan laki-laki, juga menjungkirbalikkan hidupnya. Pada usia dua tahun, Kay didiagnosis menyandang autisme dengan kemampuan komunikasi dua arah yang terbatas, hiperaktif, gangguan tidur dan sensory defensive. Selain terapi, ia perlu intervensi diet berupa diet gluten, casein, pengawet, dan MSG.
Memperoleh bahan makanan dengan spesifikasi seperti itu tidak mudah. Yang dijual di supermarket hanya sedikit, kurang beragam, dan mahal karena produk impor. “Padahal makanan harus dirotasi, tidak boleh setiap hari sama. Setelah empat hari, baru boleh kembali ke makanan itu lagi. Pusing saya. Cari satu macam saja susah, harus cari yang bermacam-macam. Kerupuk, lauk, nasi harus divariasi,” kenang Christine.
Saat itu ia teringat lagi proyek-proyek yang pernah ia tangani saat masih bekerja di Kehati. Ia menangani umbi-umbian dan organik. Ia lalu mengontak kembali kelompok-kelompok tani, ibu-ibu perajin emping garut. Dulu ia mendorong petani untuk menanam umbi-umbian, dan mereka khawatir tidak ada pembeli. Berangkat dari kebutuhannya sendiri, Christine membeli produk mereka. Dari situlah ia membangun brand Kainara yang disingkat dari nama anaknya, Kay Saidpurnama Ismunara.
Intervensi diet yang ia terapkan kepada Kay memberikan banyak kemajuan. “Dalam tiga bulan saja gangguan tidurnya berkurang. Sekarang sudah jauh lebih tenang. Gangguan tidur menghilang, sensory defensive hampir tidak ada, emosi lebih stabil, kemampuan memahami orang lain berbicara semakin baik. Ia menjalani diet gluten-, dairy-, dan sugar-free,” jelas Christine.
Menyulap umbi menjadi kue kering, keripik, roti tawar, cupcake dan cake bukan soal gampang. Butuh waktu untuk belajar, apalagi Christine bukan orang yang suka membuat kue. Ia menjual bahan, tapi banyak pembeli yang tidak tahu cara mengolahnya. “Mereka minta yang sudah jadi,” kata Christine yang berpikir keras untuk mengganti terigu dengan tepung lain, tanpa gula, tanpa susu, dan tanpa telur.
“Karena saya tidak pernah bikin cookies atau cake, saya jadi berani nekat. Saya coba-coba terus. Anak saya, Zoe, dan adik saya menjadi juru cicip. Kata mereka, bentuk dan rasanya mirip dog biscuit, ha ha ha ha...,” kenang Christine sambil tergelak. Betul-betul learning by doing dan trial and error. Kalau sekarang ia bisa membuat 12 jenis kukis, itu hasil dari perjuangan teramat berat.
Ia ingin membantu orang-orang senasib Kay, membantu petani agar tetap berproduksi, dan petani juga bangga bahwa umbi-umbian yang mereka tanam bisa bersaing dengan terigu. Berat karena terigu disubsidi pemerintah dan harganya murah. Sementara tepung umbi pembuatannya home industry, artisanal dan tanpa subsidi, bisanya panen hanya saat kemarau. Keberadaannya tidak stabil, jumlahnya terbatas, kualitasnya tergantung cuaca.
“Peran Kainara yang saya banggakan adalah memberikan added value pada produk pertanian yang sudah ada. Ini punya manfaat bagi penyandang autisme. Dengan begitu, lebih mudah memasarkannya. Sekarang, pasar makin meluas, orang dengan diabetes mencari tepung garut, juga yang menderita sakit lambung. Saya pernah bertanya kepada pembeli dari Aceh, untuk apa tepung garut dia beli banyak? Katanya untuk obat sakit lambung.”
Saya sibuk memperhatikan tangannya yang sedang menyiapkan santap siang kami hari itu. Ia menjamu kami makan siang dengan menu sorgum yang dibumbui seperti nasi kuning, pecel dengan taburan beberapa jenis edible flowers, tahu organik rebus, tempe koro, telur asin, dan emping garut serta sambal matah. Tidak tahan berdiam diri, saya bertanya mengapa ia menyukai capung, karena cincin yang melingkar di jari manis Christine berbentuk capung.
“Capung adalah indikator kesehatan ekosistem. Kalau ekosistem sehat, bersih, dan subur, serangga khususnya capung akan tinggal di dalam ekosistem itu. Sedangkan autisme adalah indikator bahwa lingkungan kita ini sudah terdegradasi karena dampaknya adalah mereka ini,” jawabnya sambil menikmati santap siang.
Penyandang autisme tidak tahan terhadap kondisi lingkungan yang tidak baik. Makanya pantangnya banyak karena mereka tidak bisa mendetoks racun dari tubuh, tidak bisa mencerna gluten karena enzimnya kurang, tidak bisa berenang di kolam renang umum karena tidak tahan klorin.
“Misi saya membangun Kainara adalah membangun kesadaran orang bahwa lingkungan kita itu tidak sehat. Makanan pabrikan, makanan berpengawet itu tidak sehat. Mari kita belajar dari anak autisme,” ujar Christine, peraih The Most Sociopreuneur BII Sukma Award tahun 2013 dari PT BII Tbk, dan peraih Mompreuneur Award dari Alfamidi pada tahun 2014.
Meski secara fisik tokonya kecil, produk Kainara mendapat sertifikasi halal melalui proses yang panjang. Oleh Dinas Kesehatan, Kainara diusulkan untuk ikut program badan POM yang bernama Piagam Bintang. Kainara sudah mendapat Piagam Bintang I, yaitu standar keamanan pangan. Toko ini juga melayani pembeli secara online melalui www.kainara.com.
Santap siang kami berakhir, dengan cupcake mungil rasa pisang berbentuk hati sebagai hidangan penutup. Manis tanpa gula. Oh, ini yang tadi aromanya menyeruak ke dalam toko. Selain perut kenyang, kami pulang membawa sepotong besar banana cake dan roti tawar berbahan dasar mocaf campur tepung umbi. Dan jujur, saat itu untuk pertama kali dalam hidup saya, saya makan sorgum. Tekstur dan rasanya mirip nasi.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah