Hari masih pagi ketika saya dan tim pemotretan tiba di toko La Mitta, di daerah Jakarta Timur. Pemilik toko, Christine—ibu dari Zoe, 16, dan Kay, 11— sedang dirias di rumahnya untuk pemotretan PESONA.
Di sebuah sudut toko ada meja kayu berukir, di atasnya tersedia beberapa stoples kecil kue kering dan keripik. Di situlah kami duduk menunggu selesainya proses makeup sang nyonya rumah sambil terus mengunyah, mencicipi satu per satu kue kering dan keripik.
“Ini enak, yang ini enak, yang ini juga enak. Yang ini apa ya?” kata salah seorang dari kami. Bentuknya mirip rengginang, renyah, dan rasanya pun mirip. Tapi jelas, bahannya bukan nasi. Lantas kami tertawa karena tidak berhasil menebak bahan dasarnya.
Dari arah dalam tercium aroma cake pisang yang baru keluar dari oven. Saya menjelajahi isi toko. Banyak yang dijual di toko itu: Virgin coconut oil, kecap manis organik, madu, abon ikan, beberapa jenis tepung kecuali terigu, sorgum, beras organik, ayam probiotik, tepung kacang hijau, 12 macam kue kering, dan masih banyak lagi yang asing bagi saya. Sebagian besar bahan pangan di toko itu berlabel Kainara dengan simbol capung.
Menjelang tengah hari, kesibukan semakin terlihat. Selain melayani pembeli yang datang pergi, pegawai toko melayani pengiriman bagi pembeli di luar kota dan luar pulau. Setelah menjelajahi toko, tahulah saya bahwa kue kering yang saya makan tadi berbahan dasar tepung ubi ungu, mocaf (modified cassava flour), tepung ganyong, keripik emping garut, dan rengginang dari singkong. Semua produk yang dijual di toko ini adalah produk organik yang bebas gluten dan casein (komponen protein utama pada susu).
“Sekarang orang sudah nggak heran lagi dengan istilah gluten-free dan casein-free. Kalau kita menyebut ganyong, garut, banyak yang sudah tahu. Dulu, tujuh tahun lalu, ketika saya ngomong begitu, saya dianggap dari planet mana. Apa itu gluten? Casein? Margarin, kenapa nggak boleh? Sekarang, sudah banyak orang yang paham,” jelas Christine yang membangun bisnisnya tujuh tahun silam.
Dalam membangun brand Kainara, ia perlu tiga modal penting: Uang, kemauan untuk belajar, dan nekat! Menurut Christine, tantangan membangun Kainara justru dari diri sendiri karena ia tidak pernah memasang target yang besar. Ia tidak memasukkan bisnisnya sebagai bisnis murni karena tidak ingin menambah stres dengan target-target.
“Saya sudah cukup stres dengan intervensi anak saya yang menyandang autisme. Saya membangun bisnis ini mengalir saja, dan percaya bahwa promosi dari mulut ke mulut cukup efektif. Saya tidak punya target marketing,” papar Christine.
Kalau tidak memikirkan bisnis dan target marketing, bagaimana Kainara bisa bertahan, mampu menghidupi empat pegawai, menghidupi keluarganya, dan memberi untung?
Sambil tersenyum ia menjawab, “Saya percaya pada tangan Tuhan. Kalau kita membangun usaha dengan niat dan cara yang baik, yang akan datang kepada kita adalah orang-orang yang baik dan siap menolong.”
Dalam membangun usahanya, ia banyak berhubungan dengan komunitas yang selaras dengan nilai yang ia emban: Untuk kebaikan lingkungan. Ia merasa mendapat banyak kemudahan. Misalnya saja, ada seorang selebritas Instagram yang membuat cooking class yang bahan-bahannya dibeli dari Kainara. Banyak juga tawaran ikut event, sehingga ia mendapat bantuan promosi yang tidak perlu ia lakukan.
Ia juga tidak perlu repot membangun toko, karena toko daging La Mitta milik ibunya yang sudah dibangun sejak tahun 1992 bisa ia gunakan. La Mitta juga memberi subsidi untuk Kainara dalam rupa manajer toko. Hari-harinya kini disibukkan dengan mengisi buletin London School Center of Autism tentang makanan sehat, cooking class, cooking demo, dan menerima pesanan menu makan siang dengan diet tertentu, menerima pesanan cupcake, cake, roti tawar bebas gluten dan casein, juga ikut pameran.