Aktris 60 tahun ini bicara tentang misinya di perfilman Indonesia dan alasannya menjaga privasi.
Saya menerima peran di film “Kartini” karena sebelumnya saya terlibat dalam beberapa film biopik tentang tokoh-tokoh ternama Indonesia, seperti Tjoet Nja’ Dien, K.H. Hasyim Ashari, Tjokroaminoto. Saya ingin melengkapinya dengan berperan sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini.
Di film itu saya juga bermain dengan generasi yang lebih muda, yang memberikan energi segar pada saya dan menambah kepedulian saya terhadap regenerasi.
Jika dilahirkan kembali, saya tetap ingin menjadi perempuan. Kita perempuan memiliki kekuatan yang laki-laki tidak punya. Kalau kita bisa menggunakan kemampuan dengan optimal, sesungguhnya kita bisa mengontrol laki-laki.
Tapi yang lebih penting adalah bagaimana memosisikan diri sebagai perempuan. Tidak ada nikmatnya juga mem-bejek-bejek laki-laki. Lelaki dan perempuan seharusnya punya posisi setara. Perempuan juga jangan menghamba pada wajah. Wajahmu, kehebatanmu, apa pun yang kamu punya, bisa Tuhan ambil kapan saja. Kamu tidak ada artinya—meski punya segalanya—kalau tidak mengenal diri sendiri dan Tuhanmu.
Jika tidak menjadi aktris, saya mungkin akan menjadi ustazah. Saya memang tidak fanatik, tidak berjilbab, tetapi ketika saya mempelajari agama, ada kenikmatan dan kedamaian pada saat berkomunikasi dengan Tuhan. Kebahagiaan sesungguhnya saya peroleh dari situ, membuat saya menjadi orang yang tidak gampang menyerah, tidak pernah putus asa, dan selalu berpikir positif.
Kalau selama ini saya pelit berbicara tentang masalah pribadi, itu karena saya tidak mau fokus media teralihkan dari apa yang saya perjuangkan. Peran pertama saya di film “Cinta Pertama” (1973) merebut perhatian media karena saya langsung memenangkan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik.
Saat itu semua media berfokus kepada saya, membahas tentang akting saya—yang saya sendiri juga tidak paham, karena film adalah sesuatu yang jauh dari dunia saya. Hingga empat film selanjutnya, sebelah kaki saya masih tertinggal di tempat lain, yakni cita-cita menjadi arsitek atau psikolog.
Baru di film kelima saya mendapatkan peran yang jauh dari kehidupan dan karakter saya, sehingga membutuhkan riset mendalam. Film “Kawin Lari” itu akhirnya membuat saya mencintai dunia film. Ternyata di dalam film, semua ilmu ada, yang secara tidak langsung bisa saya pelajari dan bagikan kepada penonton.
Saya melanjutkan karier sebagai aktris dengan selektif memilih sutradara. Saya percaya, cerita yang sederhana akan jadi film yang baik di tangan sutradara yang baik. Sebaliknya, cerita sebagus apa pun, kalau ditangani sutradara yang buruk, tidak akan maksimal. Saya juga masih harus membuktikan apakah piala-piala Citra yang saya terima memang patut saya peroleh.
Di tahun 2002, saya menjadi juri di Cannes Film Festival, dan pada 2010 saya bermain di film Hollywood “Eat Pray Love” bersama Julia Roberts. Setelah main di film “Sang Kiai” (2013), saya mulai menemukan satu per satu puzzle yang bisa saya susun. Ini pekerjaan yang tidak saya minta, dan jika tidak barokah, seharusnya Tuhan mengambilnya lagi dari saya.
Tanpa saya sadari, saya telah melakukan diplomasi budaya dengan mewakili Indonesia melalui film-film yang saya bintangi di berbagai festival film internasional. Saya jadi ingin mempelajari tentang Indonesia lebih dalam, salah satunya berkolaborasi dengan sineas Papua di film “Boven Digoel.”
Setelah ke Papua, saya sadar NKRI itu bukan cuma Jawa. Kita harus menjaga ikatan batin dengan Papua. Ke depan, saya bermimpi mendirikan art academy di Papua, bukan cuma sekolah akting. Saya tidak mengabdi pada akting, tapi akting adalah cara Tuhan memberikan jalan kepada saya untuk menjalankan amanat saya di dunia.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah gaya: Nanda Djohan