Inspirasi untuk memulai sebuah bisnis bisa berasal dari mana saja. Salah satunya dari kebutuhan pribadi. Ketika masih tinggal dan bekerja di New York, Metta Murdaya sering tersiksa dengan kulitnya yang sensitif. Kalau sedang stres atau kelelahan, kulitnya kerap gatal-gatal dan memerah. Ia pun beralih menggunakan skin care dari bahan alami. Namun, dari beberapa produk yang ia coba, tak satu pun yang aromanya cocok dengan seleranya.
Itulah yang akhirnya menimbulkan ide di kepala Metta untuk menciptakan sendiri produk perawatan kulit dan tubuh dari bahan alami yang cocok untuk kebutuhan dan seleranya. “Entah kenapa, yang langsung melintas di kepala saya adalah jamu. Meski sudah ada sejak zaman dahulu, jamu tetap survive dan terus berkembang sampai sekarang,” ujar pemilik gelar Master of Business Administration dari New York University, AS, ini.
Tiga sahabat Metta—Tami Chuang, Yoshiko Roth, dan Jill Sung—juga mengalami masalah yang sama. Mereka pun sepakat untuk memproduksi skin care dan body care dari bahan-bahan dasar jamu, tapi diolah dengan teknologi kosmetika yang canggih. Karena tak satu pun dari mereka punya pengetahuan dan pengalaman tentang seluk-beluk produksi kosmetik, “Kami melakukan riset sendiri lewat Google dan buku-buku. Mulai dari teknologi yang digunakan, mencari pemasok bahan mentahnya, sampai mencari ahli raciknya,” cerita Metta.
Metta tidak menggunakan bahan segar seperti pada jamu, melainkan hanya mengambil ekstraknya. “Kunyit, misalnya, hanya diambil zat antioksidannya yang tinggi. Begitu juga dengan kemiri, cengkeh, jahe, teh, asam jawa, beras, dan sebagainya. Proses ekstraksi itulah yang membutuhkan teknologi tinggi,” jelas Metta. Butuh waktu sekitar satu tahun sampai produk pertama siap dipasarkan. Waktu itu sekitar Februari 2005, dan baru ada tiga varian produk.
Beruntung, di AS orang tak sulit melempar produk kecantikan baru di pasar. Di sana, skin care dan body care tidak dianggap sebagai obat, sehingga tidak membutuhkan izin dari FDA (Food and Drug Association) alias Badan POM-nya AS. “Di sana standarnya sudah tinggi. Lagipula, kalau kita mau menjual produk sembarangan, siap-siap saja menghadapi tuntutan konsumen yang risikonya tidak main-main,” kata Metta.
Memasarkan produk baru di tengah belantara New York yang sudah dipenuhi berbagai produk skin care dari berbagai merek, menjadi tantangan tersendiri bagi Metta. Apalagi Juara sudah diputuskan untuk menyasar kelas premium. Sebagai newcomer, Metta harus mati-matian berusaha menembus Apthorp, sebuah drugstore yang banyak dikunjungi masyarakat kelas atas di New York. Metta harus berkali-kali meyakinkan sang pemilik bahwa produknya layak dijual di Apthorp. Metta dan teman-temannya bukan hanya harus menembus salju sembari menyeret-nyeret kopor berisi produk Juara, tapi sekaligus bertindak sebagai tenaga sales promotion yang memberikan penjelasan kepada para pengunjung.
Metta juga membagikan produknya kepada para blogger. “Di Amerika, kita tidak bisa menyetir para blogger, tapi untunglah ulasan mereka tidak ada yang negatif,” ujar Metta. Perlahan-lahan, Juara mulai dikenal di Amerika, bahkan pernah masuk dalam ulasan di New York Times. Kini Juara juga sudah beredar di berbagai negara Eropa. Baru pada tahun 2014 lalu, Juara mulai dipasarkan di Indonesia.
Metta juga menggunakan cara lain untuk memperkenalkan Juara, yaitu lewat workshop-workshop tentang entrepreneurship. “Saya ingin menumbuhkan inspirasi bahwa setiap orang bisa memulai bisnis dari nol, asalkan bermental juara,” katanya. Meskipun merupakan ‘putri mahkota’ sebuah kerajaan bisnis di Indonesia, Metta merintis Juara dari nol besar tanpa bantuan dari siapa pun. Bagi Metta, Juara adalah ‘bayi’ yang dilahirkannya sendiri, bukan warisan dari orang tua.
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah