Ada sebuah ide cemerlang yang tercetus sekitar delapan tahun silam. Kala itu, Cynthia Wirjono bersama sang suami, Chris Kerringan, kakak dan adiknya, Anton dan Hogi Wirjono, serta rekannya, Leonard Theosabrata, ingin membuat sebuah ‘pasar’ yang berisi beragam produk cool di dalamnya.
Beragam barang cool yang ditemui membawa mereka ke satu kelompok yang sama, yakni local brand.
“Lagi nonton berita tentang Barack Obama, ada running text betuliskan ‘Obama merchandise is the bright spot’,” cerita Cynthia. Tulisan “bright spot” bagi Cynthia begitu menarik, dan kemudian Brightspot Market pun lahir. Tepatnya di bulan Mei 2009, Brightspot Market pertama hadir di Jakarta.
“It’s a curated market of all things cool— begitu impian kami,” kata Cynthia.
Di masa itu, produk lokal belum menjamur seperti sekarang. Merek-merek lokal hanya melakukan produksi ketika ada bazar. Atau, ketika mereka akan membuka lapak di acara-cara tertentu. Mereka pun hanya melakukan jual-beli melalui akun Facebook mereka. Bahkan ada toko di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan, yang hanya buka ketika ada barang yang diproduksi.
Cynthia dan rekan-rekannya hanya memiliki impian sederhana, yakni bisa menampilkan perancang busana dan produk independen yang masih muda.
“Belum ada Instagram, apalagi memiliki toko untuk berjualan,” cerita Cynthia lagi.
Brightspot pertama mereka adakan di Plaza Indonesia—awalnya, belum ada tenant yang ingin bergabung karena masih banyak yang tidak tahu acara apa ini sebenarnya. Masalah tersebut diselesaikan oleh Cynthia dan iparnya dengan membuat semacam consignment store—sistem konsinyasi, menjual barang dengan bagi hasil.
Label Klé by Kleting termasuk yang pertama bergabung di Brightspot, yang mempekerjakan tukang jahitnya di akhir pekan demi mengisi produk di stan mereka di Brightspot. Tidak disangka, barang mereka terjual habis setiap hari. ‘Pasar’ pertama yang mereka adakan ini kebanjiran pengunjung hingga lima ribu orang.
“Kami tidak menyangka, satu kali weekend bisa mendatangkan segitu banyak orang,” kenang Cynthia, yang sudah berpengalaman 15 tahun di dunia ritel di Amerika.
Kemudian Brightspot berikutnya membesar, dan terus tumbuh. Meski Brightspot Market masih dalam skala kecil, melalui acara tersebut Cynthia dan rekan-rekannya ingin memperlihatkan energi kreativitas yang besar. Brightspot menjadi jawaban bagi merek-merek lokal agar lebih kreatif dan rajin berproduksi. Dan Brightspot menjadi wadahnya.
Lalu, apa selanjutnya? Bagi Cynthia dan rekan-rekannya, cool things tidak hanya local brand. Kini, semakin banyak cool things lain yang menarik untuk masyarakat Indonesia. Agar semakin membaik, Brightspot Market mengangkat kreativitas dari setiap produk, baik produk lokal maupun dari luar.
“Pada akhirnya, audiensnyalah yang menyatukan semuanya, karena yang menyukai produk lokal pasti juga suka dengan brand-brand kreatif lainnya,” kata Cynthia. Setelah berkali-kali Brightspot Market berlangsung, para pendiri menyadari bahwa ada energi berbeda yang tumbuh.
“Energi apa ini?” Cynthia mempertanyakan kekuatan yang ia rasakan pada saat itu. Ketika Brightspot Market diadakan di Pacific Place, Jakarta, ia memperhatikan setiap pengunjung. “Orang-orang ini datang dari mana saja?”
Perkembangan media sosial ikut mengangkat Brightspot Market. Tahun 2011, ketika Twitter booming, nama Brightspot Market semakin viral. Jumlah pengunjung juga tak tanggung-tanggung—33 ribu orang dalam satu weekend! Berkembangnya Brightspot Market tidak melulu diikuti perkembangan brand-brand lokal yang terlibat di dalamnya.
Dalam pengamatan Cynthia, ada beberapa brand yang berhenti hingga bertahun-tahun, namun kemudian memulai lagi dengan produk baru—dan brand baru—yang akhirnya dikenal banyak orang. Kini, Brightspot menjadi wadah bagi pengusaha kreatif untuk meluncurkan merek dagang mereka. Dengan berkembangnya Brightspot, sejak tahun 2010, Cynthia dan rekan-rekannya mendirikan The Goods Dept. yang merupakan curated department store.
Cynthia mengharapkan, ke depannya semakin banyak brand lokal yang inovatif. “Dan somehow, inovasi mereka ini bisa berubah menjadi skala yang lebih besar,” ujarnya menutup perbincangan.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Erin Metasari