Sancaya Rini ingin generasi muda tertarik dan ikut melestarikan batik dengan teknik pewarnaan alami. Lewat Kanawida dan Kana Goods, ia bermaksud mewariskan tradisi ini agar tetap lestari.
“Warna indigo tidak harus biru tua. Yang dari Tuban, misalnya, warnanya hijau pekat, sementara yang dari Solo, birunya kehijau-hijauan,” Rini bergumam sembari membuka paket berisi pasta pewarna alami yang baru tiba. Ia begitu familiar dengan variasi pewarna alam, karena sudah mencoba banyak jenis dan melihat hasilnya. Kini ia senang dengan hasil akhir pewarna alam berbentuk pasta yang dikembangkan oleh sebuah universitas di Solo.
Siang hari itu, wanita kelahiran 11 Agustus 1959 ini memulai mencelup kain-kain katun ke dalam tong-tong besar. Di dalamnya berisi pasta pewarna alami yang telah dicairkan. Di bengkel kerjanya yang berada di halaman samping rumahnya nan asri di Pamulang, Tangerang, Rini berusaha ‘menghidupkan’ kembali kecintaannya pada batik dengan pewarna alam. Ia ditemani Umaroh dan Ervy, dua perajin batik dari Pekalongan, serta Emi dan Novi, yang membantunya mencelup kain.
Sancaya Rini adalah pendiri Kanawida dan Kana Goods—dua brand lokal yang memproduksi kain dan busana batik modern dengan pewarna alam. Kanawida fokus menghasilkan kain batik dengan warna-warni dari pewarna alam, sementara Kana Goods menyasar segmen anak muda dengan ciri khas busananya yang berwarna biru. Untuk Kana Goods, Rini memakai pewarna alam dari tanaman Indigofera yang sebelumnya kami perbicangkan.
Sambil berbincang, Rini mencelup sehelai kain katun berwarna dasar putih ke dalam salah satu ember. Masih ada lilin malam di atas kain itu, mengisi motif yang terlukis. Rini merendamnya hingga kain berwarna kekuningan, lalu kehijauan. Ia menjelaskan, warna ini tak hanya bisa diperoleh dari tanaman Indigofera tinctoria, tapi juga dari beberapa jenis tanaman lain. Hanya saja, Indigofera lebih banyak dibudidayakan sehingga ketersediaannya lebih banyak.
Kalau Rini hanya memakai warna biru untuk Kana Goods, ia bisa lebih bemain-main warna di lini satu lagi, Kanawida. Cokelat, ungu, oranye, hijau, ia tampilkan di atas kain sutra tenun yang dipesan dari perajin di Garut. Kata Rini, kain sutra lebih mampu ‘menerima’ berbagai warna ketimbang jenis kain lainnya. Kain sutra juga terlihat lebih menarik ketimbang satin yang tak bertekstur.
Kanawida sendiri berasal dari Bahasa Kawi yang berarti warna-warni. Melalui lini ini, ia bebas mewarnai kain sekehendak hati, dan mencoba berbagai motif batik modern tanpa merasa terbebani dengan masalah target dan tenggat waktu. Ia mengaku tak pernah bermaksud menjalankan Kanawida sebagai bisnis berorientasi untung besar. Untuk urusan laba, sepertinya Kana Goods-lah yang menjadi andalannya.
“Perputaran bisnis Kanawida memang tak secepat Kana, karena terkait masalah selera, harga, dan risiko,” jelas Rini. Material sutra lebih sulit didapat, dan risiko gagal dalam proses pewarnaan juga lebih besar. Proses yang lebih lama akhirnya juga membuat harga selembar kain Kanawida bernilai lebih mahal—dibanderol antara 1,2 juta hingga lima juta rupiah per item.
Kanawida ibarat playground bagi wanita yang juga kerap memberi berbagai workshop seputar teknik pewarnaan kain dengan pewarna alami ini. Misalnya, workshop-workshop yang diselenggarakan di Indoestri Makerspace dan ORE Small Bussiness and Café. Yang menarik, pesertanya banyak anak muda. Beberapa bahkan akhirnya menekuni bisnis clothing yang memakai pewarna alam untuk produksi mereka.