
Deretan stoples berisi sayur dan buah kering tertata rapi di sebuah rak. Melihat harganya, tidak dapat dikatakan murah.
Satu stoples sayuran kering berukuran 250 gram itu dihargai lima puluh ribu rupiah. Di dalam stoples itu berisi beberapa jenis sayur, yaitu wortel, kacang panjang, pare, kabocha, bit, zukini, dan buncis. Bukan karena anjuran dokter, tapi hanya ingin mencicipi rasanya. Saya membeli satu.
Di saat lapar sebelum jam makan siang, sayuran kering itu ampuh mengganjal perut saya tanpa rasa bersalah. Lain halnya bila saya mengganjal perut saya dengan sebuah kue donat manis ukuran kecil, atau sepotong besar kue kering cokelat, atau camilan dalam kemasan yang full karbohidrat. Saya akan menambah porsi olahraga saya hari itu.
Membaca informasi gizinya, saya merasa aman-aman saja mengonsumsi sayuran kering ini. Kandungan lemaknya nol koma sekian persen, kalori sangat rendah, sedikit garam, sementara kandungan seratnya lumayan tinggi.
“Dried fruit veggie (DFV) berawal dari daerah Mediterania, Mesopotamia. Masyarakat Mesopotamia mengeringkan buah dan sayur supaya awet,” kata Wida Winarno, M.Si mengawali kisahnya. Direktur PT Embrio Biotekindo ini kemudian menjelaskan bagaimana sayur dan buah kering itu dibuat.
Caranya dengan menurunkan kadar airnya hingga 10% dengan harapan agar mikroorganisma tidak dapat tumbuh. Zaman dulu orang mengeringkan bahan pangan dengan sinar matahari, tapi teknologi vacuum drying menggantikan sinar matahari.
“Kadang-kadang dikombinasi dengan microwave. Prosesnya adalah dengan cara menarik air dari dalam sel buah dan sayur, kemudian diuapkan,” papar Wida.
Teknologi terus berkembang, alat pengering terbaru adalah freeze dryer. Prosesnya adalah mengubah air dalam sel buah dan sayur menjadi es (padat), kemudian diuapkan. Tapi, menurut Wida, teknologi ini ternyata berbujet lebih mahal, tidak ekonomis dibandingkan dehydrator.