Pahami remaja Anda karena remaja itu fase perubahan. “Ibaratnya migrasi dari kanak ke usia dewasa. Mereka masih mencari identitas dengan mencari figur. Bagi mereka, sesuatu yang menantang itu hebat, keren. Adrenalin yang meningkat itu membuat mereka tidak merasakan sakit saat melakukan challenge. Media sosial bisa mem-brainwash karakter yang belum kokoh,” jelas Endah.
Hal ini yang dikhawatirkan akan berdampak pada keberanian remaja melakukan bunuh diri karena adrenalin yang tinggi. Jika Anda pengguna media sosial yang aktif, Anda mungkin tahu tentang challenges atau tantangan yang sedang diikuti remaja saat ini, seperti Chocking Game dan Eraser Challenge.
Kasus bunuh diri siswi SMA di Riau setelah mengalami bully dari teman-temannya belum lama terjadi. Menurut Endah, korban bully memiliki risiko bunuh diri lebih besar dari pelaku. Tetapi pelaku bully juga bisa bunuh diri jika korban melawan.
“Karena, pelaku bullying adalah pribadi narsistik, ingin selalu tampak hebat, dia melampiaskan emosinya ke orang yang lemah. Di rumah dia sering ditekan orang tuanya, dia pun menekan temannya di sekolah. Kalau korban yang dia targetkan ternyata balik menyerang, harga dirinya akan terinjak. Dia bisa menarik diri dan ujungnya bunuh diri,” jelas Endah.
Penyebab bunuh diri itu kompleks. Tidak ada penyebab tunggal. Kalau ada yang bunuh diri karena diputus oleh pacarnya, bukan berarti hanya karena itu. Putus cinta adalah alasan terakhir sampai seseorang memutuskan mengakhiri hidup.
“Jika Anda pernah menonton serial Netflix berjudul 13 Reasons Why, Anda akan mengerti kenapa tokoh utama akhirnya bunuh diri. Ia punya 12 alasan untuk bunuh diri, tetapi baru terwujud hanya karena guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah, yang dianggap bisa membantunya, ternyata tidak menyimak anak itu dengan baik. Pertemuan dengan guru BK itu menjadi alasan ke-13,” Noriyu memberi contoh.
Banyak pemicu bunuh diri, tapi menurut Endah, hanya orang yang memiliki gangguan mental saja yang bisa melakukannya. “Pasti ada kelemahan di mental atau karakter kepribadiannya,” ungkap Endah.
“Orang yang narsistik misalnya, ingin selalu kelihatan hebat, sehingga ia tidak nyaman jika tidak lebih hebat dari orang lain. Ini bisa menjadi tekanan yang pada akhirnya berujung pada bunuh diri.
“Contoh lainnya adalah penderita gangguan bipolar. Sebagian penderita gangguan bipolar melakukan bunuh diri pada fase depresi. Tetapi bisa juga ketika manik. Orang manik biasanya adrenalinnya sangat tinggi. Dia bisa melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri tanpa rasa takut.”
Pada pengguna NAPZA, bunuh diri dilakukan karena halusinasi. Menurut Endah, pengguna narkoba mengalami kemunduran pada otak. Pengguna ekstasi, misalnya, merasakan bahagia yang berlebihan sehingga bisa melakukan tindakan ceroboh seperti melompat dari gedung tinggi.
Anda bisa mengetahui sejak dini apakah anak Anda berpotensi bunuh diri lewat pengamatan.
“Jika anak mulai hilang minat dan semangat, suka mengurung diri, cenderung lebih banyak diam, gelisah, juga mengalami gangguan tidur, sebaiknya Anda segera bertanya apa yang sedang terjadi padanya,” kata Endah.
Menjaga bonding dengan anak adalah tantangan orang tua masa kini yang memiliki kesibukan yang padat. “Jangan menghakimi, jangan memberi wejangan terlalu banyak. Mereka tidak butuh dan tidak akan mendengar juga. Maka, cukup jadi pendengar yang baik,” ujar Endah.
Sependapat dengan Endah, Daisy mengatakan, orang tua dan keluarga adalah agen sosialisasi penting untuk anak sehingga orang tua sebaiknya menjadi teman bagi anak. Orang tua juga harus sering berkomunikasi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi anak, memberi masukan, dan tidak membebani anak dengan berbagai tuntutan tanpa mengetahui kemampuan dan ketertarikan anak.
“Orang tua juga bisa membekali anak dengan pemahaman tentang realitas kehidupan yang seringkali penuh tantangan. Ini penting agar anak menjadi pribadi yang kuat, tidak sekadar berprestasi tetapi juga lebih dari itu—sanggup menghadapi tantangan dan persoalan,” kata Daisy.