Baru saja industri musik dunia, terutama K-pop, geger karena kematian Kim Jong-hyun, vokalis utama boyband Korea terkenal, Shinee. Jong-hyun diduga bunuh diri, dan pesan-pesan terakhirnya kepada orang-orang terdekatnya menunjukkan kalau ia kesepian dan depresi.
Sebelumnya, di Amerika, kematian vokalis Linkin Park, Chester Bennington, juga menjadi perbincangan. Ia ditemukan gantung diri di rumahnya.
Jika Anda Googling tentang kematian Chester, Anda akan menemukan bahwa beberapa hari setelah kematian Chester ternyata fans berat Chester memutuskan bunuh diri seperti idola mereka. Memang angkanya tidak banyak, tetapi hal ini tetap memprihatinkan.
“Bunuh diri semacam ini namanya waham induksi,” jelas dr. Endah Ronawulan, Sp.KJ, psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Bunuh diri menjadi semacam penyakit menular, lazim terjadi dalam komunitas religi atau kepercayaan. Satu orang bilang mau kiamat, semua percaya sehingga ramai-ramai bunuh diri.
“Fans Chester bisa menganggap bahwa bunuh diri menyelesaikan masalah hidup sehingga ditiru,” kata Endah. Induksi bunuh diri ini juga bisa terjadi dalam keluarga jika salah satu anggota pernah meninggal akibat bunuh diri.
Kematian tertinggi kedua akibat bunuh diri di dunia berada di usia 15 hingga 29 tahun, demikian data dari WHO tahun 2015. Sedangkan peringkat pertama dilakukan oleh lansia. Perilaku bunuh diri lazim terjadi pada remaja dengan gangguan jiwa, meskipun tidak semua kejadian bunuh diri akibat gangguan jiwa.
Tetapi sebanyak 80%-90% remaja yang meninggal karena bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan seperti gangguan mood, gangguan cemas, masalah perilaku, dan penyalahgunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Hal itu dipaparkan oleh dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ, psikiater dan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dalam #DiskusiRuangTengah tentang bunuh diri yang digelar di kantor Tempo, akhir Juli lalu.
“Sayangnya pemerintah Indonesia tidak memiliki angka bunuh diri. Menurut WHO tahun 2010, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 5.000 orang per tahun,” ujar dokter yang akrab disapa Noriyu ini. Angka itu termasuk remaja dan lansia. “Satu-satunya data justru dari Polri yakni 981 orang (2012), 921 (2013), dan 457 (2014),” Noriyu menambahkan.
“Bunuh diri adalah gejala sosial menurut sosiologi,” kata Daisy Indira Yasmine, sosiolog dari Universitas Indonesia.
Ada empat tipe bunuh diri—Egoistic, seseorang merasa sendiri, lepas dari lingkungan sosialnya; Fatalistic, kehidupan sosial terlalu mendominasi sehingga seseorang merasa kehilangan jati dirinya; Anomik, ketika seseorang merasa ketiadaan pedoman hidup, nilai yang dianut berubah sehingga bingung nilai apa yang harus dianut; dan Altruistic, bunuh diri karena tekanan kelompok atau budaya yang menunjukkan solidaritas atau nilai tertentu dalam budaya.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang bunuh diri. Salah satu faktor yang penting adalah tekanan sosial dan disintegrasi. “Tekanan sosial pada remaja dapat berkaitan dengan tuntutan-tuntutan yang dibebankan pada remaja yang berasal dari lingkungan sosial masyarakat, keluarga, lingkungan pertemanan, dan media.
Isunya mulai dari isu yang berkaitan dengan prestasi pendidikan, pergaulan, ekonomi, identitas pribadi. “Ketika tuntutan yang beragam tersebut tidak dapat dicapai atau dipenuhi maka hal tersebut menjadi tekanan sosial bagi remaja,” jelas Daisy.
Sedangkan disintegrasi yaitu kurangnya dukungan sosial dan lemahnya ikatan sosial yang dimiliki remaja. Dukungan dan ikatan sosial ini juga dapat berasal dari lingkungan keluarga, pertemanan, komunitas, lingkungan sosial.
“Ketika remaja menghadapi tuntutan sosial yang cukup besar tapi tidak memiliki nilai, dukungan dan ikatan sosial yang kuat, maka ia menjadi rentan dan rapuh. Perasaan tidak berarti, selalu kurang, selalu salah, buruk, ketidakjelasan identitas, sangat mudah muncul. Apalagi ketika seorang remaja juga tidak dibekali oleh nilai, pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi masalah dan tekanan sosial,” Daisy menambahkan.