Aktivitas donor darah sering ditemukan di lingkungan rumah, di sekolah, maupun di lingkungan kerja. Anda mungkin sering mendengarnya, atau bahkan turut serta. Rasanya, itu sudah biasa. Bagaimanapun, sedikit yang tahu bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) sering kali kekurangan pasokan darah, terutama di daerah-daerah. Fakta itu membuat Valencia Mieke Randa berpikir: Bagaimana membangun jembatan bagi pasien dan pendonor?
Pemikiran itu bukan datang begitu saja. Valencia, yang akrab dipanggil Sil, tahu betul tantangan yang ada. Dulu, ia sering mendampingi almarhum ibunya cuci darah secara rutin. Pada masa-masa itu, ia bertemu banyak pasien dengan keluhan nyaris sama, yaitu kesulitan mencari pendonor. Belakangan, Sil melihat media sosial bisa memberikan jalan terang. Ia pun memulai Blood for Life (BFL), sebuah grup mailing list yang beranggotakan 44 orang. BFL dibuat dengan misi menjadi wadah informasi bagi pasien yang dalam keadaan darurat dan membutuhkan donor darah. Berbagai informasi pun mulai berdatangan.
“Ada rasa syukur ketika para pasien terbantu menemukan pendonor,” ujar Sil. Baginya, itu merupakan hadiah terbesar yang ia rasakan. Pernah suatu kali, di waktu subuh, seseorang meneleponnya hanya untuk berterima kasih. Si penelepon bilang bahwa kini mereka bersaudara. “Sebab darah kalian sekarang sudah mengalir juga di darah saudara saya,” kata si penelepon.
Ada suka, ada duka. Pengalaman Sil terkait BFL tak melulu menyenangkan. Pada 2010, misalnya, ketika BFL vakum lantaran Sil kembali bekerja kantoran, ia mendapat telepon dari seorang pria yang meminta bantuan untuk dicarikan pendonor darah untuk sang istri yang sakit. Saat itu Sil sedang rapat, dan baru bisa menghubungi kembali setelahnya. Siapa sangka, lelaki itu menyambut dengan amarah. Sil terlambat. Sang istri telah berpulang. “Di situ saya merasa seperti robot yang tak punya nurani. Itu yang akhirnya membuat saya mantap kembali fokus ke BFL,” kenangnya.
Dalam perkembangan, BFL mulai merekrut para relawan. Mereka bahkan melakukan trial and error untuk menemukan pakem penulisan info dalam 140 karakter, sesuai karakter media sosial Twitter. Dulu, info diunggah dalam beberapa tweet, sehingga ada kemungkinan tweet dari akun lain terselip di lini masa BFL. “Cara mudahnya tentu mengharapkan orang menengok laman muka akun Twitter @Boof4LifeID—tapi itu kurang praktis,” ungkap Sil.
Dari proses coba-coba itu, akhirnya BFL punya format yang baku. Misalnya, tweet “Feb 09 (04)-JM #URGENT #Makassar #B+ | 2ktg | Khaeriyah | RS Wahidin | CP 082336813543 | cc @BFLMakassar @LingkarDonorMKS”. Ini artinya, pada 9 Februari, ada permintaan darah keempat dari Makassar, dengan pasien bernama Khaeriyah di RS Wahidin. JM adalah inisial admin BFL yang bertugas saat itu. Selain mempermudah, format tersebut ikut membantu admin BFL menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Suatu kali, Sil pernah berhadapan dengan calo darah. “Calo itu mengontak kami, karena ia beberapa kali minta bantuan untuk beberapa orang yang berbeda. Ternyata ia minta bayaran untuk tiap ‘misi’ itu dari calon pasien,” ungkap Sil. Untung saja, informasi sudah lebih dulu ia telusuri dengan menghubungi rumah sakit dan memastikan nama pasien serta kebutuhan darah yang disebutkan.
Jika informasi terkonfirmasi dengan baik, admin akan mengungggahnya sesuai format ke Twitter. Admin juga akan mention ke akun-akun media sosial terkait agar informasi lebih tersebar. Ketika kebutuhan pendonor sudah terpenuhi, keluarga pasien akan melakukan konfirmasi ke admin, untuk kemudian diumumkan secara resmi.
Kini, Sil dan tim BFL sedang menyiapkan aplikasi yang akan semakin mendekatkan calon pendonor dengan pasien. Seorang pendonor tinggal memasukkan data diri, detail golongan darah dan waktu terakhir pendonoran. “Jadi, ketika Anda yang bergolongan darah AB baru donor kemarin dan ada kebutuhan darah sejenis, Anda tak akan terima notifikasinya,” kata Sil dengan antusias.
Baca juga tentang tabu seksualitas di sini.
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Siti Hanifiah