Berbeda dengan sang mami yang aktif di Instagram, sebagai remaja milenial, Izzat, 15, ternyata tidak suka eksis di media sosial.
Izzat Ibrahim Assegaf memanfaatkan internet untuk tugas-tugas sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di luar rumah. “Saya lebih suka berbagi bersama teman-teman dekat saja,” ujar Izzat. Ia juga suka naik gunung bersama mereka. “Saya baru pulang dari Gunung Sempu di Malang. Gunung itu belum banyak orang yang tahu. Ada teman yang pernah ke sana dan jadi guide,” kisah Izzat.
Menjadi siswa kelas 10 dari Sekolah Menengah Cikal Amri mengharuskan Izzat mengerjakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Tugas akhir itu berbentuk sebuah proyek individu. Izzat yang sering menemani abi (ayah)-nya diving sejak kecil dan mulai mencoba diving di usia 12 tahun ini tertarik untuk membuat proyek konservasi terumbu karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
“Alasannya, saya pernah diving di Pulau Pramuka, juga di Bali dan Manado. Di Pulau Pramuka terumbu karangnya kurang bagus karena coral bleaching, juga karena nelayan menggunakan bom ikan yang berbahaya untuk terumbu karang,” begitu alasan Izzat.
Izzat dibantu oleh abi dan paman-pamannya melakukan penanaman terumbu karang di Pulau Pramuka pada akhir Desember 2016. Sedangkan untuk persiapan, ia dibantu oleh sang mami. “Saya menemani Izzat riset ke Yayasan Terumbu Karang. Karena proyek ini harus betul-betul independen, saya juga membantu dia latihan presentasi ke berbagai perusahaan untuk meminta dana. Izzat presentasi ke saya dulu sebelum ke perusahaan,” Najwa menambahkan.
Menurut Najwa, Izzat adalah adalah anak yang aktif sejak kecil. Bakat Izzat di bidang olahraga dan alam memang sudah terlihat. Renang, bermain sepak bola, serta bola basket sudah dilakukan Izzat sejak kecil. Izzat juga pernah les gitar di rumah saat mulai tertarik pada musik. “Pada prinsipnya saya mendukung kegiatan Izzat selama itu positif. Menemukan passion bisa dilakukan dengan cara merawat ketertarikan kepada hal-hal kecil yang mungkin saja menjadi hal besar,” ungkap Najwa.
Sebagai anak lelaki, Izzat juga tidak dibebani harus menjalani profesi tertentu di masa depan. “Yang terpenting bukan profesinya. Tetapi kualitas seperti apa yang akan ia punya di masa depan. Siapa tahu pekerjaan yang akan Izzat lakukan 10 atau 20 tahun lagi adalah pekerjaan yang belum ada sekarang. Saya ingin ia berani mencoba hal baru, percaya diri, dan menjadi lifelong learner,” kata Najwa.
Najwa tak memungkiri dirinya masih sering waswas setiap kali Izzat meninggalkan rumah. Najwa pernah melepas Izzat untuk summer course sepakbola selama dua minggu di London saat Izzat berusia 12 tahun. “Mami sampai nangis-nangis ya waktu itu,” seru Najwa kepada Izzat. Juga saat Izzat pertama kali akan diving, atau saat naik gunung bersama teman-temannya.
“Kalau bisa saya kekep saja di rumah, tidak boleh ke mana-mana,” kata Najwa, tertawa.
Karena anak satu-satunya, Izzat memang selalu jalan bertiga dengan abi dan maminya. Najwa dan Izzat sesekali jalan berdua untuk facial. “Awalnya nolak-nolak, tapi karena maminya yang ngajak, nurut juga,” ungkap Najwa, yang peduli terhadap kesehatan kulit anaknya. Meski lebih sering cerita masalah pubertas kepada abi, Izzat mengenalkan pacarnya lebih dulu kepada sang mami. Najwa juga kerap menemani Izzat belanja keperluan bulanan, hingga mencari kado untuk sang pacar.
Saat bersama Najwa di tempat umum, Izzat sering terganggu karena maminya sering dikerumuni fans untuk minta foto bareng. Pengalaman itu membuat Izzat justru tak ingin terkenal seperti kakek, Prof. Dr. Quraish Shihab, atau maminya. “Saya tidak tertarik. Populer buat saya tidak terlalu penting. Saya jarang posting di media sosial juga karena tidak mencari spotlight.” Mendengar pengakuan Izzat, Najwa pun menambahkan, ”Menurut Izzat, saya dan ayah saya
muncul di televisi karena bagian dari pekerjaan, sehingga popularitas bukan sesuatu yang ia cari.”
Foto: Fikri Surbakti
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah