Sepanjang tur di hutan, Albert menjelaskan tentang ragam tanaman yang ada. Sesekali, kami berhenti untuk memetik dedaunan dan mencicipi. “Yang ada di sini organik semua, Mas,” katanya. “Kami juga punya pengolahan pupuk sendiri,” ungkap Albert.
Selain tanaman-tanaman, saya melihat ada joglo yang bisa dipakai untuk beristirahat, ada pula bangunan bulat dari batuan yang dijalari tumbuhan rambat. Tumbuhan yang menutupi bangunan membuat perbedaan tekanan di dalam dan di luar ruangan. Hasilnya, kendati di luar panas, di dalam tetap dingin.
Tapi satu hal yang paling menarik dari Arumdalu Lab adalah sepetak lahan artifisial yang Albert sebut bio-dynamic. Intinya, ‘lab’ tersebut dirancang untuk menumbuhkan bahan pangan yang semestinya tak bisa tumbuh di Jakarta dan Indonesia. Mint atau basil, misalnya.
Albert, yang memiliki latar belakang chemical engineering, membangun tiang-tiang berbahan polimer di atas kolam ikan. Kotoran ikan akan menjadi kompos, sementara bahan polimer dan air akan menciptakan suhu dingin yang diperlukan untuk tanaman tumbuh. “Sejauh ini, kami berhasil menggunakannya untuk sayuran hijau. Tapi belum untuk pohon. Batang membutuhkan energi lebih besar.”
Sekitar pukul 12, kami kembali ke bangunan utama untuk santap siang. Helianti telah menyiapkan semuanya. Saya menyesap minuman segar dari akar alang-alang dan kayu manis, sebelum mulai mencocol ubi biru, nasi jagung, tempe koro, pepes ikan, surabi, dan seterusnya.
Ajang santap diakhiri dengan dessert potongan nanas dan kelapa yang dikeringkan, plus perasaan luar biasa puas. Di situlah saya menjadi yakin bahwa kekayaan cita rasa pangan lokal bukanlah omong kosong belaka, dan bukanlah hal mustahil untuk membangun hutan organik di tengah kota.
Saya pulang membawa satu pot tanaman srigading. “Bagus untuk menangkal polusi,” kata Albert. Saya memajang srigading itu di teras apartemen.
Foto: Albert Arron Pramono