Kasus Sita contohnya. Sita adalah sosok wanita mandiri dengan karier bagus. Namun perkawinannya dengan Rico hanya berumur enam bulan. “Saya melepas karier demi ikut suami, tapi ternyata bukan itu yang baik bagi kami,” ujar Sita, yang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan Rico.
Perceraian dipilih karena menurut Sita, itu adalah jalan terbaik. Setelah berpisah dari Rico, Sita butuh waktu untuk mundur dari peredaran. Tidak upload status di medsos, juga tidak ingin berhadapan dengan keluarga besarnya. “Enam bulan proses pengadilan, dan dua bulan berikutnya saya sudah siap mengumumkan bahwa saya telah bercerai,” jelas Sita dengan ringan.
Tidak sulit bagi Sita mengatasi masalah emosinya. Tapi tak sedikit orang yang membiarkan kemarahannya mengendap seiring berjalannya waktu. Bisa saja, tapi apa enaknya menyimpan kemarahan?
Berdamai dengan mantan suami adalah kunci agar sukses move on. “Tapi berdamai dengan mantan suami itu bukan soal gampang,” tulis Dr. William E. Ward dalam buku The Good Enough Spouse. Resolve Or Dissolve Conflicted Marriages, yang saya beli lima tahun lalu. Setelah perceraian, kemarahan belum lenyap sepenuhnya. Sebelum sampai pada tahap berdamai dengan mantan suami, ada tahap memaafkan.
“Maafkan diri sendiri dulu. Ini sama sulitnya dengan memaafkan mantan suami,” tulis William. Padahal itu langkah awal dan penting agar kita bisa move on. “Sulit karena bagi banyak orang perceraian identik dengan kegagalan. Tidak semua orang bisa menerima kegagalannya. Butuh keberanian untuk menghadapi diri sendiri dan menerima kegagalan, agar mampu memaafkan diri sendiri dan mantan suami,” kata Nessi.
“Saya tidak pernah berpikir bahwa saya ini korban. Perkawinan kami tidak jalan. Itu saja. Kalau dianggap sebagai kegagalan, saya terima. Lagi pula, mana ada orang yang tidak pernah gagal?” kata Sita, yang kini merasa hidupnya menjadi lebih nyaman tanpa Rico (dan mereka belum punya anak). Ia merasa yakin bahwa Rico memang bukan jodohnya. Dan tidak sulit bagi Sita untuk tetap berhubungan baik dengan Rico.
Mirip Susi, Dini merasakan sulitnya move on setelah berpisah. “Sampai dua kali Lebaran saya masih menangis,” ungkap Dini sambil tertawa, menertawakan masa lalunya. Sakit hati akibat perselingkuhan suaminya membekas dalam di hatinya. “Hatiku panas karena dikhianati. Saya menyalahkan diri sendiri karena tidak kunjung punya anak,” ungkap Dini.
Yang seperti ini, kata Nessi akan membuat orang makin terpuruk. “Bila porsi kesalahan terlalu banyak diberikan pada diri sendiri, itu akan membuat kita semakin terpuruk. Maka sebaiknya kita melihat masalah dalam proporsi yang sebenarnya,” saran Nessi.
Menurut William, itu bagian dari proses refleksi, bicara dengan diri sendiri. Benarkah saya yang paling bersalah? Kalau begitu maafkan saya. Atau, ‘Kesalahan tidak sepenuhnya pada diri saya. Baiklah, saya maafkan kamu.’