“Jangan pernah abaikan dampak menyakitkan dari sebuah perceraian.”
Ini nasihat saya kepada orang yang datang kepada saya untuk bercerita soal rencana perceraiannya. Nasihat itu pernah saya berikan juga kepada seorang teman yang begitu menggebu ingin berpisah. Tekadnya yang sebulat bola bumi itu tak bisa diluruskan—lalu ia pun berpisah dengan suaminya setelah delapan tahun menikah.
Satu tahun pertama ia masih santai. Setiap weekend dan hari libur sekolah, anak-anak diasuh oleh ayah mereka. Tahun kedua, dimulailah aksi memata-matai sang mantan.
Pertanyaan detail tentang apa saja yang dilakukan anak dengan ayah mereka, dengan siapa mereka bepergian, mulai ‘didendangkan.’ Terlebih ketika mantan suami absen mengasuh anak karena harus keluar kota. Susi—teman saya ini—akan mencari tahu lewat anak-anaknya ke mana ayah mereka pergi, untuk urusan apa, dan pergi dengan siapa. Susi merasa hidupnya tenang tanpa suami.
Tapi, kabar bahwa mantan suaminya akan menikah lagi dirasakannya seperti badai yang meluluhlantakkan hidupnya. Setelah hampir delapan tahun berpisah, mantan suami Susi siap menikah lagi. Dibakar api cemburu, Susi mengalami depresi dan tubuhnya pun sakit-sakitan. Ia belum move on.
Sepahit-pahitnya pernikahan, perceraian bisa lebih pahit. Hal ini kerap diabaikan oleh orang yang sudah ngebet ingin cerai. Orang yang ingin bercerai biasanya diliputi rasa marah, merasa mantap bahwa berpisah adalah jalan terbaik, dan tak ingin peduli pada suami.
“Tapi kalau sudah benar-bernar berpisah, mereka berhadapan dengan realita. ‘Oh, ternyata sepi ya.’ Mulailah kepo-kepoin mantan. Cek statusnya tiap hari. Dia masih sedih nggak ya? Sebetulnya kita berharap dia sama sedihnya dengan kita. Tapi kalau ternyata dia happy, kitanya sakit hati,” jelas Agnes Dewanti Purnomowardhani, Psi. MSi, psikolog dari Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Banyak kasus perceraian yang pernah ditangani oleh psikolog yang akrab disapa Nessi ini. Yang seperti Susi juga ada. Awalnya gagah perkasa, mantap hidup sendiri karena secara ekonomi mandiri, dan yakin akan lebih bahagia tanpa suami. Tapi ternyata eksesnya panjang sampai ia butuh bantuan ahli untuk mengatasi berbagai dampak psikologisnya. Dan ia belum sampai berhubungan baik dengan mantan suami, karena mengatasi kemarahannya saja belum.
Apa yang menyebabkan orang yang bercerai bisa sesakit Susi? “Mungkin Susi masih cinta pada mantan suaminya. Tapi kemampuan orang untuk recover itu sangat individual, tergantung karakter masing-masing orang,” jelas Nessi.
Penyebab perceraian, lamanya perkawinan dan usia, tidak berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah emosi dampak perceraian. “Ada orang yang pintar, mandiri, sekolah di luar negeri. Tapi perlu waktu dua tahun untuk menyembuhkan sakit hatinya. Ada yang hanya perlu waktu beberapa bulan saja,” Nessi menegaskan.