Meski Jepang sudah memasuki musim semi, sakura ternyata tak mekar berbarengan di setiap kota. Tahun lalu, saya mencoba memburunya; dari Tokyo, Kyoto, Osaka, Kobe, hingga Danau Kawaguchiko di kaki Gunung Fuji.
Menyimak ramalan sangat penting bila kita ingin ke Jepang, khusus untuk menonton sakura mekar. Maklum saja, bunga yang menjadi ikon Jepang ini hanya mekar selama seminggu, untuk kemudian berguguran lagi. Bagusnya, ramalan ini sudah dirilis jauh-jauh hari, setidaknya sejak awal tahun.
Sakura memang tidak mekar serentak di Jepang. Tergantung lokasinya—semakin tinggi tempatnya, semakin dingin suhunya, dan semakin terlambat pula mekarnya. Saya sendiri mengandalkan Cherry Blossom Forecast yang dilansir oleh Japan-Guide.com sebelum menyusun itinerary ke Jepang selama 10 hari untuk berburu sakura pada April tahun lalu di tiga kota besar. Hasilnya, perburuan saya tidak sia-sia!
Saat mendarat di Tokyo di hari pertama bulan April, semangat saya sempat anjlok. Tidak ada sedikit pun terlihat tanda-tanda sakura mekar. Dahan pepohonan di sepanjang jalan masih terlihat gundul—sisa-sisa musim dingin—bahkan hujan mengguyur deras sehingga suhu drop hingga 8 derajat. Padahal, menurut ramalan, sakura akan mekar di Tokyo mulai tanggal 2-10 April.
Dua hari berikutnya, cuaca cerah. Dengan penuh harap, saya mengunjungi Ueno Park, taman umum yang dibangun pada tahun 1625, yang biasanya menjadi salah satu lokasi utama untuk menikmati pemandangan sakura mekar di Tokyo. Namun, lagi-lagi saya kecewa. Sakura masih berupa kuncup-kuncup sewarna dahan, sehingga dari kejauhan pepohonan masih tampak gundul.
Begitu juga saat saya mendatangi dua lokasi lainnya, yaitu Senso-ji atau biasa disebut Asakusa Kannon Temple—kuil Buddha yang menjadi salah satu landmark Tokyo—dan sepanjang tepian Sungai Sumida.
Meski agak kecewa, sesuai itinerary, di hari keempat saya beranjak dari Tokyo ke Kyoto—sekitar 2,5 jam naik kereta cepat Shinkansen, atau 6-9 jam bila naik bus. Menurut ramalan, sakura akan mekar di Kyoto pada tanggal 7-15 April.
Saya langsung bersorak ketika tanda-tanda cherry blossom alias sakura mulai terlihat di Kyoto. Meski belum mekar raya, di beberapa bagian kota dan di sepanjang jalan sudah terlihat deretan pohon sakura yang sebagian mulai berbunga. Ada yang merah jambu, ada pula yang putih. Gairah saya yang semula nyaris padam mulai terbakar lagi. Kuil Kiyomizu-dera adalah tempat pertama yang saya kunjungi di Kyoto.
Selain merupakan salah satu objek wisata wajib kunjung, kuil Buddha yang pertama kali dibangun pada tahun 778 ini merupakan tempat ideal untuk menikmati sakura mekar. Uniknya, di kompleks kuil yang luas dan terdiri atas beberapa bangunan ini, sakura tidak mekar serempak.
Jadilah pemandangan yang ada adalah pohonpohon sakura yang tumbuh di sekeliling kuil utama— yang letaknya paling tinggi—malah masih gundul dan berkabut, sehingga pemandangan dari atas tak ubahnya kuil di atas awan.
Namun di beberapa bagian kuil, terutama yang terletak di dataran yang lebih rendah, sakura mulai mekar, sekalipun belum fully bloomed. Meskipun begitu, pemandangan yang tersaji sudah begitu cantik—sakura warna pink bermekaran di tepian danau kecil, dengan latar belakang pucuk atap kuil yang lancip dan langit biru cerah. Cantik!
Bagaimana dengan mekarnya sakura di Osaka dan Kobe?
Osaka adalah tujuan saya berikutnya. Menurut ramalan, sakura mekar di kota ini pada tanggal 6-13 April, lebih dahulu ketimbang Kyoto. Selain itu, suhu sudah semakin hangat. Tak heran jika sakura di Osaka telah berbunga lebih permai.
Tak salah rasanya bila saya berburu ke landmark utama Osaka, yaitu Istana Osaka (Osaka Castle) yang dibangun pada tahun 1583 oleh Toyotomi Hideyoshi, anak petani miskin yang kemudian menjadi tokoh pemersatu Jepang. Istana bertingkat enam ini dikelilingi benteng kokoh dari batu dan kanal untuk melindungi diri dari serangan musuh. Dan, tentu saja, dikelilingi oleh pohon-pohon sakura yang bunganya sedang bermekaran.
Tak jauh dari Osaka Castle ada taman luas yang juga dipenuhi pohon sakura. Saya melihat beberapa kelompok orang menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pohon sakura yang sedang mekar sembari makan-makan dan minum-minum.
Piknik (bersama keluarga atau teman-teman) untuk menikmati sakura mekar memang merupakan tradisi tahunan bagi orang Jepang. Dalam masa seminggu sakura mekar raya, yang disebut Golden Week, para pelajar maupun karyawan biasanya diberi libur satu hari untuk berpiknik.
Saya melihat sekelompok bapak-bapak tua yang asyik mengobrol sambil bercanda dan tertawa-tawa di bawah pohon sakura. Mereka tidak menolak ketika saya meminta izin untuk memotret mereka.
Salah seorang di antara mereka, yang bisa berbahasa Inggris meski patah-patah, bahkan mencoba membuka obrolan dengan saya. Ia mengatakan, mereka sengaja berpiknik di hari itu, meskipun sakura belum sepenuhnya mekar. Karena kalau pas mekar raya, kemungkinan besar mereka tidak kebagian tempat dan suasananya terlalu ramai dan berisik.
Dari Osaka, saya mampir ke Kobe—tak sampai satu jam naik kereka biasa. Kobe terletak di antara Osaka dan Kyoto. Karena tidak bermaksud menginap di kota ini, saya hanya jalan-jalan di sekitar stasiun kereta, antara lain mengunjungi Kuil Minatogawa dan daerah Chinatown. Sakura yang tumbuh di tepian jalan terlihat sudah mekar sempurna. Menariknya, sakura di sini lebih banyak berwarna putih, sehingga pemandangan di sekitarnya jadi terlihat memutih. Dan yang pasti, tak kalah cantik!
Dari Osaka juga saya kembali ke Tokyo naik bus malam dan tiba pagi-pagi sekali. Saya menitipkan koper di loker Stasiun Shinjuku dan memesan tiket bus ke Kawaguchiko. Saya ingin mengejar pemandangan Gunung Fuji dalam pose terindahnya, yaitu dari puncak hingga separuh badannya tertutup salju.
Pemandangan seperti ini hanya bisa dilihat pada musim semi. Begitu memasuki musim panas, saljunya akan meleleh.
Sebenarnya ada lima danau di sekeliling Gunung Fuji. Saya hanya memilih salah satu, yaitu Danau Kawaguchi. Dari tepian Danau Kawaguchi, saya naik Kachi-Kachi Ropeway (sky lift) menuju puncak Gunung Tenjo (lebih tepat disebut bukit). Dari puncak Gunung Tenjo, saya bukan saja bisa menikmati keindahan pemandangan Danau Kawaguchi di bawah sana.
Gunung Fuji yang pucuknya tertutup salju pun seolah bisa saya raih dengan tangan saking dekat dan jelasnya. Sayangnya, karena tempatnya tinggi dan suhu masih sangat dingin sekitar 4 derajat Celcius, pohonpohon sakura yang tumbuh di kaki Gunung Fuji masih gundul. Menurut ramalan, di wilayah lima danau ini sakura mekar raya memang baru terjadi pada tanggal 19-25 April.
Saya sengaja menghabiskan satu hari lagi di Tokyo sebelum kembali ke Tanah Air. Saya masih penasaran terkait ramalan jadwal sakura mekar raya di Tokyo. Maka di hari terakhir berada di Jepang, pagi-pagi sekali saya sudah meninggalkan hotel untuk berkeliling kota.
Dan penantian saya ternyata terbayar lunas. Seluruh penjuru kota tampil gemilang dalam balutan bungabunga sakura yang tengah mekar raya, cemerlang dalam nuansa merah muda dan putih. Taman di sekitar Asakusa Kannon Temple yang minggu lalu masih terlihat pucat sekarang tampil semarak. Pemandangan yang sama semaraknya juga saya temui di sepanjang tepian Sungai Sumida.
Namun, ada yang agak mengganggu ketakjuban saya. Pemandangan sakura raya memang sangat indah. Tapi, tidak ada lagi ketenangan. Sepertinya, semua warga Jepang maupun wisatawan mancanegara tumplek-blek dan berdesak-desakan di bawah pohonpohon sakura itu. Seperti cendol dan… berisik!