Moses Saputro mengaku introver dan mau dekat dengan para karyawan. Priscilla Saputro senang berbincang dengan pelanggan dan menjaga relasi dengan mereka. Di Batik Nyonya Indo, pasangan suami-istri ini berbagi peran menjali relasi ke dalam dan ke luar.
Moses Saputro asli Solo, sementara Priscilla Herawati berasal dari Sragen. Keduanya bertemu di Yogya, merintis bisnis batik sejak 1998. Tahun 2001 mereka mendirikan bengkel batik sendiri dan usaha mereka terus berkembang.
Pasangan suami-istri ini punya karakter yang bertolak belakang, tapi ternyata hal itu menjadi kekuatan yang saling mengisi, terutama dalam hal menjalin relasi. Tujuan mereka satu, agar batik bisa menjadi busana sehari-hari untuk segala kegiatan.
“Saya orangnya cenderung introver, sementara Priscilla ekstrover,” kata Moses. Tapi berbincang dengan mereka tampaknya perbedaannya tak sesederhana itu. Moses yang dulu aktif di organisasi kemahasiswaan tampak selalu antusias membahas soal pemberdayaan masyarakat, termasuk perajin batik. Priscilla lebih senang bertemu langsung dengan para pelanggannya, menjalankan peran sebagai humas dan pemasaran.
“Saya tahu proses membatik itu rumit dan perlu waktu, jadi rasanya nggak tega dengan artisan kami kalau ada yang menawar. Di situ saya kagum pada Priscilla yang bisa menghadapi pelanggan dengan sabar,” jelas Moses, yang menangani semua masalah produksi dan manajemen. Kini mereka membawahi 250 perajin batik, yang tak jarang mengalami kejenuhan. Kalau sudah begini, waktunya Moses melancarkan jurus memenangkan hati mereka.
Katanya, sistem manajemen Barat yang kaku sulit diterapkan dalam bisnisnya. Melihat para perajin sebagai seniman yang berkarya, ia harus tetap menjaga kesejahteraan mereka agar tetap mau bertahan membatik. Begitu juga soal menjaga mood mereka. “Saya bawa mereka bepergian kalau sudah mulai goyah, agar semangat berkaryanya muncul lagi. Jadi, mereka juga punya alasan untuk bertahan.”
Priscilla kagum pada cara Moses menjaga relasi dengan para perajin dan pegawai. “Suami saya ini leadership-nya bagus. Saya paling tidak tahan melihat pegawai berulah. Dia malah mengajak saya introspeksi, ‘Apa, ya, salah kita? Kita mesti bagaimana supaya mereka tidak bersikap begitu?’” ujar Priscilla menirukan suaminya.
Tantangan tak hanya datang dari para perajin, tapi juga dari mindset masyarakat. Meski batik kini populer, masih banyak orang yang menganggap batik terlalu berat dan hanya untuk acara resmi. Apalagi batik klasik. Dari relasinya dengan pelanggan maupun target pasarnya, Priscilla pun belajar soal preferensi setiap tipe orang.
“Ada ibu-ibu yang memang senang batik klasik. Ada juga yang lebih muda atau dari kalangan selebritas, yang memilih batik modern dengan motif dan warna yang lebih colorful,” jelasnya. Karena ini pulalah, mereka berdua membagi lini usaha dalam tiga lini, yaitu lini busana siap pakai dengan brand Michelle, gaun-gaun dengan brand Priscilla Saputro, dan Batik Nyonya Indo berupa kain batik.
Meski berbeda karakter, sebenarnya mereka sama-sama perfeksionis dan punya kesamaan selera. Kedua hal ini menyatukan mereka dalam bisnis. Ada satu lagi yang penting—soal menghormati ‘wilayah kekuasaan’ masing-masing. “Saya hanya akan memberi saran kalau menyangkut produksi, dan suami saya harus tetap yang mengambil keputusan. Begitu juga sebaliknya,” kata Priscilla.
Soal kunci sukses berbisnis ini, Moses menambahkan, “Kalau niatnya tak merugikan orang lain, jalannya pasti ada saja. Dan tentunya ada passion yang mendorong kami berdua untuk bergerak ke tujuan yang sama.”
[Simak kisah inspiratif sang maestro tari, Retno Maruti, di sini]
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah