Bila perempuan terus mencari keadilan untuk dirinya, bagaimana hukum di Indonesia melindungi perempuan?
Inisialnya DW, usianya 15 tahun. Juni lalu di Kota Batu, Jawa Timur ia didampingi rombongan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia melaporkan kejadian yang ia alami ke polisi. Masalahnya, DW dan temannya terkena tilang. Polantas yang menilangnya menjanjikan DW akan bebas tilang asalkan mau berhubungan badan dengan pak polantas itu.
Kennedy Jennifer Dhillon seorang perempuan muda. Di akun Facebook-nya ia curhat mendapat pelecehan verbal dari tiga orang satpam yang menghadangnya di pintu keluar mal saat ia selesai berolahraga di sebuah pusat kebugaran. “Hot-hot-hot,” kata seorang satpam. Salah satunya kemudian mengikuti langkah Jennifer, dan memegang rambutnya dari belakang sambil berkata,
“Bro, kita kerjain yuk. Orang asing terutama Cina dan India harus kita buat nangis.” Tidak terima dengan perlakuan itu, Jennifer membalikkan badan dan menghajar sang satpam hingga tersungkur dan berdarah, lalu menyeretnya ke kantor pengelola gedung.
Fatin Hamama adalah sastrawan perempuan Indonesia. Saat meluncurkan buku kumpulan puisinya, seseorang bernama Saut Situmorang menyebut Fatin “lonte tua yang tak laku” di akun Facebook-nya, dan kata-kata tak senonoh lain yang tak layak ditulis di sini. Tidak tinggal diam, Fatin mencari perlindungan hukum dan polisi pun menjemput paksa Saut.
Masih banyak contoh kasus yang kerap membuat kepala kita beruap. Ingat kasus pramugari Garuda yang dilecehkan oleh dua penumpang pria? Keramahan yang tulus dianggap lampu hijau untuk melakukan kekerasan seksual. Judul besar di sebuah situs berita online tertulis: Para Muslimah Arab Saudi Belajar Taekwondo untuk Menghadapi Verbal Harassment.
Itu semua merupakan bukti bahwa di seluruh dunia, perempuan dari berbagai usia dan kelas social masih menjadi korban. Pelakunya pun berasal dari berbagai kalangan dan kelas sosial—dari buruh bangunan, petugas satuan keamanan, polisi, direktur sebuah perusahaan, anggota DPR, hingga Hakim Agung. Dari tingkat jalanan hingga eksekutif.
Masalahnya, sering kali kita memilih sikap ‘mudah’ untuk tak mempersoalkannya, meski kita mengalami pelecehan verbal yang membuat darah kita mendidih. Kata Mustafaina dari Divisi Pemantauan Komnas Perempuan, perempuan harus meributkan soal ini.
“Kita harus mempersoalkan karena perempuan mudah menjadi tersubordinasi, dimarjinalkan, dan distereotipekan. Itu bentuk ketidakadilan gender yang masih berseliweran di lingkungan kita,” kata Aflina, yang biasa disapa Pino. Ia mengatakan, dampaknya bisa membuat perempuan berada di posisi subordinat, tidak bisa merangkak naik. Perempuan sulit mendapatkan posisi untuk menjadi top leader di partainya atau di pemerintahan.
Bila perempuan terus mencari keadilan untuk dirinya, bagaimana hukum di Indonesia melindungi perempuan? Meski kekerasan itu ‘hanya’ terjadi di mulut dan tidak ada bukti fisik yang bisa dilampirkan saat melapor, Komnas Perempuan memandang pelecehan verbal sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Ketika Fauzi Bowo—mantan DKI 1—mengomentari soal perkosaan, “Pantesan perempuan diperkosa, roknya mini, belahan pantatnya kelihatan.” Atau ketika Daming Sanusi, Hakim Agung (2013), mengatakan, “yang memperkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati”—dalam sebuah fit and proper test, adakah hukum yang bisa menjerat mereka? Polantas yang melecehkan DW, satpam yang melecehkan Jennifer kalau itu terjadi di Indonesia, dan Saut Situmorang yang melecehkan Fatin. Pasal apa yang dikenakan kepada mereka?
“Nggak ada yang langsung menukik ke pelecehan verbal. Masuknya ke perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik. Ujungnya ke UU umum,” jelas Della Feby, Asisten Koordinator Divisi Pemantauan di Komnas Perempuan. Dalam KUHP bisa menyasar pasal-pasal yang menyangkut pencemaran nama baik, tapi tidak spesifik karena pasal-pasal itu ‘pasal karet’, bisa multitafsir dan bisa hilang ketika ditafsirkan berbeda oleh pembela. Lain masalahnya bila pelecehan terjadi lewat media sosial, ada undang-undang terkait cyber crime, yaitu UU ITE.
Berbeda halnya dengan kasus pelecehan verbal pada anak. Pemerintah terus mengupayakan kebijakan pada anak antara lain lewat UU Perlindungan Anak. “Padahal perempuan dewasa pun mendapat perlakuan yang sama. Makanya Komnas Perempuan membuat Rancangan Undang-Undang penghapusan kekerasan seksual yang tujuannya nanti non-verbal dan verbal bisa masuk,” ungkap Della melegakan.